Lihat ke Halaman Asli

Sastyo Aji Darmawan

Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menjadi Pemimpin dengan Kemampuan Resiliensi Diri

Diperbarui: 5 November 2024   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemimpin yang dapat menggunakan pengetahuan resiliensi diri untuk mengendalikan situasi penuh stres sehingga dapat bertumbuh ke arah positif. Menurut Pasiak (2021), resiliensi adalah kapasitas dan proses dinamis untuk mengatasi stres dan kesulitan secara adaptif sambil mempertahankan fungsi psikologis dan fisik yang normal.

 Resiliensi adalah sebuah proses dinamis beradaptasi dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman atau sumber stres yang signifikan. Kapasitas ini memungkinkan seseorang untuk bangkit dari kesulitan, ketidakpastian dan kegagalan.

Kemampuan ini sangat dibutuhkan menghadapi dunia dan pelbagai kejadian yang berubah dengan cepat dan cenderung menjadi sumber stres. Resiliesi diri yang baik memungkinkan manusia menghadapi stres dengan lebih baik dan dapat dikendalikan. Kemampuan ini sangat penting bagi seorang pemimpin yang mengelola banyak sumber daya. Strategi mental meningkat resiliensi diri antara lain; peningkatan fleksibilitas kognitif, dan meningkatkan hubungan (connectedness).

Lembaga Administrasi Negara (LAN) merilis modul pelatihan struktural kepemimpinan 'Self Resilience'. Modul ini dapat diakses oleh seluruh masyarakat di laman pembelajaran elektronik asn.futureskills.id. Materi yang diberikan di dalam modul tersebut adalah sebagai berikut.

Stres adalah respon tubuh terhadap tekanan. Sejumlah situasi atau peristiwa kehidupan yang berbeda dapat menyebabkan stres. Stres sering dipicu ketika seseorang mengalami (1) paparan hal yang baru, tidak terduga atau yang mengancam rasa diri, atau (2) ketika seseorang merasa memiliki sedikit kendali atas suatu situasi (https://www.mentalhealth.org.uk/a-to-z/s/stress).

Stres merupakan respon tubuh (fisik, mental, sosial, spiritual) yang tidak spesifik terhadap setiap tuntutan perubahan. Artinya, setiap faktor internal atau eksternal, positif atau negatif, yang mengganggu keseimbangan dapat dianggap sebagai 'stres'. Meskipun stres tidak dapat dihindari, stres tidak sepenuhnya bersifat negatif atau sesuatu yang harus dihindari secara sepihak (https://www.brainfacts.org/diseases-and-disorders/mental-health/2018/what-isstress-resilience-and-can-it-be-learned-071018).

Setidaknya ada 45 jenis stresor yang dapat memengaruhi respon seseorang terhadap stres. Identifikasi terhadap sumber stresor ini akan memudahkan upaya untuk membangun resiliensi. Dikenal sebagai The Holmes-Rahe Stress Inventory (https://www.stress.org/holmes-rahe-stress-inventory-pdf).

Kemampuan seseorang menghadapi kesulitan dapat diukur dengan Adversity Quotient (AQ), secara luas dipahami dalam konsep resiliensi. Resiliensi harus dilihat sebagai proses dan hasil karena kemampuan untuk mengatasi keadaan yang merugikan sebagian merupakan hasil dari pengalaman hidup melalui pengalaman sulit sepanjang hidup. 

Dengan demikian, resiliensi bukanlah konsep yang statis, melainkan terus terakumulasi sepanjang perjalanan hidup Ketahanan dicapai melalui pemanfaatan berbagai sumber daya internal dan eksternal. 

Kemampuan menyesuaikan diri terhadap stresor, kesulitan, trauma, tragedi, ancaman, atau resiliensi dapat dilatih. Untuk melatihnya seseorang harus berfokus pada 4 hal: connection, wellness, healthy thinking, and meaning (https://www.apa.org/topics/resilience).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline