Tidak ada satu pun masa terlewati tanpa peran pemuda di dalamnya. Pemuda selalu memiliki tempat di zamannya. Beberapa tokoh yang mengisi kursi pejabat di pemerintahan saat ini pun dikenal sebagai aktivis di masa mudanya.
Ihwal eksistensi pemuda di setiap masa, bukan tidak menghadapi penolakan. Kerusuhan Mei 1998 salah satunya. Peristiwa itu menandai penolakan gagasan reformasi yang disuarakan pemuda kepada penguasa yang notabene adalah golongan tua.
Setelah Jepang kalah di perang dunia kedua, kaum muda pula yang mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Desakan tersebut harus diwarnai dengan drama penculikan, karena golongan tua sempat berseberangan pendapat dengan 'adik-adiknya'.
Jika ditarik mundur lebih ke belakang lagi, kita juga dapat mengenang perjuangan para pemuda untuk menyatukan bangsa ini. Kongres Pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928 melahirkan 'Sumpah Pemuda' yang kemudian menjadi tonggak sejarah persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyatakan identitasnya dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Perlu dicatat, Sumpah Pemuda tidak digagas oleh generasi tua di era tersebut.
Tiga momen bersejarah itu dapat kita rasakan manfaatnya sekarang. Kita harus berterima kasih atas perjuangan para pemuda di masa tersebut. Tanpa gerakan mereka, bangsa ini belum tentu semaju sekarang.
Kini, kiprah pemuda dalam berbagai bidang menghadapi tantangan baru. Menjelang bonus demografi, dimana angkatan produktif semakin besar, masyarakat semakin terdidik, pesatnya kemajuan teknologi dan masifnya pergeseran budaya, pemuda seolah bersaing dengan orang tuanya sendiri untuk mendapatkan peran.
Golongan tua yang masih produktif selalu membandingkan pemuda di masa ini dengan di masanya dahulu. Akibatnya, banyak generasi Z sulit diterima di berbagai organisasi karena dianggap tidak memiliki etos kerja yang 'sebanding' dengan standar pemuda versi pimpinan organisasi yang sudah tidak muda. Lantas, pertanyaannya adalah: siapa yang tidak mampu menyesuaikan diri?
Jika kualitas generasi Z diragukan, seharusnya bukan mereka yang semata-mata disalahkan. Kualitas generasi muda saat ini tentu tidak lepas dari cara generasi terdahulu mendidik mereka. Memberi mereka kesempatan untuk berkontribusi dalam berbagai bidang pun adalah bagian dari pembelajaran. Selayaknya mereka harus terus belajar, maka tidak ada kata usai bagi generasi terdahulu untuk terus belajar mendidik generasi penerusnya.
Bisa jadi, usaha untuk mengubah generasi muda agar sesuai dengan standar dan kualitas yang kita harapkan hanya akan berbuah perdebatan tanpa akhir. Pemuda dengan segala aksesibilitasnya selalu akan lebih mampu menjangkau berbagai alasan agar terlihat lebih benar dibandingkan pendahulunya.
Akan tetapi zaman terus berubah dan manusia pun demikian. Seharusnya, para pendahulu sibuk mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi perubahan itu dan memberi kesempatan pemuda untuk mengembangkan kualitasnya secara mandiri.