Lihat ke Halaman Asli

Sastyo Aji Darmawan

Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menghargai Jasa Para Pahlawan

Diperbarui: 29 September 2024   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto/arahindonesia.files.wordpress.com

Pahlawan Nasional Baru

Ketua MPR RI-Bambang Soesatyo (Bamsoet)-menyatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan mantan Presiden RI Kedua, Soeharto, untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional. Bamsoet menilai, Soeharto layak mendapatkan gelar tersebut berkat rekam jejaknya selama 32 tahun sebagai Presiden RI. 

Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal (Sekjen) MPR-Siti Fauziah-menambahkan, perintah Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 terkait penegakan hukum terhadap dugaan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang secara eksplisit menyebut nama Soeharto telah dilaksanakan. Ia menyebutkan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memberikan kepastian hukum kepada Soeharto melalui Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKPPP) yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung. Fauziah juga menjelaskan, Soeharto menderita sakit permanen dan meninggal dunia pada 2008, sehingga tuntutan pidana terhadapnya dihapus.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia-Usman Hamid mengecam wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Menurutnya, langkah itu sangat politis yang oportunistik dan hanya berbasis pada kepentingan segolongan kelompok orang saja. Usman menilai jika langkah itu diambil maka berpotensi mengkhianati semangat Reformasi. 

Menurut Usman, gerakan 1998 itu telah menenggakkan kebebasan politik dan keadilan sosial yang tertuang dalam seperangkat nilai hak asasi manusia (HAM) lewat konstitusi. Hal tersebut akan melecehkan hak-hak para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM selama rezim Soeharto yang belum memperoleh keadilan dan hingga kini masih terus menutut keadilan. 

Berseberangan dengan kritik tersebut, Bamsoet justru berdalih bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara tidak seharusnya menanam benih-benih konflik, melainkan mencari titik temu. Menurutnya, jangan sampai ada warga negara Indonesia, apalagi seorang pemimpin bangsa yang harus menjalani sanksi hukuman tanpa adanya proses hukum yang adil. Menurut dia, tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu, apalagi terlibat pada berbagai peristiwa kelam di masa lalu.

Pernyataan Bamsoet memang ada benarnya. Kita tidak perlu menanamkan benih-benih konflik kepada generasi yang akan datang dan dendam tidak perlu diwariskan. Akan tetapi, sejarah adalah milik setiap generasi. Sejarah adalah warisan para pendahulu untuk generasi penerusnya yang sarat akan nilai-nilai pendidikan. Dari sejarah, generasi penerus akan memiliki motivasi untuk meneruskan perjuangan para pahlawan-membangun bangsa ini. Sekaligus, menghindari kesalahan-kesalahan serupa yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang.

Oleh karena itu, wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto seharusnya bukan serta merta menjadi momen untuk mengaburkan sejarah. Soeharto bisa saja diberi gelar pahlawan nasional, tetapi pahlawan juga manusia biasa yang bisa saja pernah berbuat salah. Tinggal bagaimana pemerintah men-desain pendidikan sejarah bagi generasi muda untuk tidak menonjolkan kesalahan-kesalahan yang pernah Soeharto perbuat, namun tidak juga menafikannya. 

Sikap Kepahlawanan: Meminta Maaf dan Berterus Terang

Keluarga Soeharto-diwakili oleh Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut dan Siti Hediati Hariyadi alias Titiek-menyambut wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk Ayahnya dengan menyampaikan permintaan maaf. Dalam sambutannya, kedua putri Soeharto itu kompak mengatakan bahwa tak ada manusia yang sempurna dan selalu benar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline