Lihat ke Halaman Asli

Kelamin, Nafsu, dan Perjanjian Malam

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1297460035331730844

[caption id="attachment_90223" align="alignnone" width="509" caption="Salvador Dali - http://echisenibudaya.blogspot.com"][/caption]

**

Aku masih berdiri di sepanjang rute persinggahan malam itu, menawarkan sekedarnya apa yang masih bisa kujual, mereka bilang aku salah satu penjual yang paling digemari, semenjak kedatanganku aku sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi tempat ini. Lampu-lampu semakin terang, tak lagi remang seperti biasanya, musik-musik menghentak terdengar lebih keras ketimbang mendengarkan celotehan supir mabuk yang kerap menghabiskan malam-malam mereka. akulah adalah primadona, kata mereka. mereka selalu menunggu barang yang kujual, dan tanpa menghabiskan waktu dan tak payah lagi aku berdiri lama, berhentilah sebuah mobil sedan tepat di hadapanku

“Kau cantik sekali, temani aku malam ini,” pria gendut dengan kepala yang nyaris botak mencuat dari jendela yang perlahan terbuka.

“Kau sudah tahu hargaku, kan?” balasku.

“Masih sama dengan malam kemarin, kan? Sekalipun kau naikkan, masih sanggup aku membayarmu untuk malam-malam gila kita!” ringkiknya dalam tawa yang menjijikkan.

“Masuklah!” sambungnya lagi, seakan tak mau membuang masa menanti kenikmatan-kenikmatan yang tak pernah ia dapatkan dari perempuan yang telah ia nikahi 20 tahun, setidaknya itulah yang pernah ia ceritakan.

“kemana kita? Aku tak mau ke tempat yang kemarin lagi! Tempatnya tak bersih, apalagi jauh dari nyaman! belum lagi ditambah para pelayan-pelayan di sana yang selalu melihatku seperti aku ini seorang pelacur murahan saja!”

“Hahaha, tenang saja, cantik! Mereka tak tahu selera. Sekalipun mereka mengenal kata itu dalam kamus otak berlendir mereka, tentulah mereka takkan pernah mampu membayarmu, bahkan hanya untuk memlihatmu membuka kait bra-mu itu saja mereka takkan pernah sanggup!”

“Lalu ke mana kita sekarang menghabiskan malam ini?”

“Tenang saja aku sudah mempunyai tempat spesial untuk kita! Percayalah, kau akan suka.”

Sepanjang perjalalanan aku hanya melihat sejauh bayangan malam memberikan ruang baik pandanganku, setidaknya gelap malam lebih menyenangkan ketimbang mendengarkan ocehan lelaki yang duduk di sampingku, sesekali ia mendesis dan tak lama serapah pun keluar dari mulutnya, entah apa yang ia maki, aku tak tahu itu! yang aku tahu malam ini aku harus memberikan ia kepuasan yang sudah kujanjikan.

“Bagaimana kau suka tempat ini?”

Tersentak aku ketika tersadar sudah berada di sebuah tempat pemakaman umum, masih bisa kulihat jelas nisan-nisan itu berdiri tegak dan angkuh, walaupun kesombongan sudah tak lagi berarti bagi pemilik nama di atas nisan-nisan itu.

“Kau gila! Di tempat ini?”

“Ya, kenapa tidak? ayo ikut aku!” ajaknya setengah memaksa.

Keherananku makin menjadi ketika kami berhenti di sebuah komplek makam yang sangat besar dan terkungkup pagar-pagar di sekitar beberapa makam-makam itu. komplek makam pribadi yang sudah di beli oleh keluarga-keluarga kaya. Salah satu makam yang paling besar membuat mataku mendelik, aku kenal nisan itu!

“Kau benar-benar gila! Disini? Bagaimana kalau sampai istrimu tahu?”

“Tenang, cantik. Istriku tak akan pernah ambil peduli untuk itu. Ia hanya akan menghabiskan sisa waktunya dalam ketenangan yang ia maukan, sambil menunggu kiriman-kiriman dari anak-anak kami tentunya.”

“Ya tidak seperti kau, lelaki tengik yang menghabiskan sisa waktumu dengan perempuan jalang sepertiku. Apa kau tidak mengahrapkan ketenangan juga? Barangkali mungkin juga kiriman-kiriman dari anak-anakmu?”

“Dari anak-anakku? Hah! Mereka tidak akan pernah mengirimkan padaku, bagi mereka aku ini hanyalah ayah yang tidak berguna, lelaki bangsat yang tak pantas mereka panggil ayah! Sudahlah baik kita lakukan saja kesenangan-kesenangan itu! aku sudah tak sabar,” lagi-lagi ia tertawa, dan kali ini terdengar lebih menjijikkan.

Seperti yang sudah sering kulakukan malam-malam sebelumnya, kubiarkan ia berbaring di salah satu makam yang agak nyaman. Kumainkan sedikit tubuhku degan ayunan dan liuk tubuh yang menggoda, gaun pendek yang sedari tadi kukenakan, perlahan mulai meningalkan setiap detil lekuk tubuhku, begitu pula lelaki itu, hingga akhirnya kami berdua sama-sama telanjang!

**

“Bagimana, cantik?”

“Bagaimana apa?”

“Permainanku tadi? Goyanganku?” tanyanya di sela-sela nafas yang masih belum teratur.

“Jauh lebih lama dan kuat ketimbang malam kemarin, bagaimana bisa?”

“Lihat dulu kelamin baruku! Sebelum menjemputmu tadi, kuambil kelamin ini secara paksa dari lelaki muda yang masih gagah! Dengan sedikit kekuasaan, ia akhirnya mau merelakan kelaminnya untuk kutukar dengan kelaminku, toh ia juga tak membutuhkan itu.”

“Dasar gila!” desisku

“Jangan munafik seperti itu, cantik. Kau pun seperti itu juga kan?”

“Iya, memang aku selalu menukar kelaminku setiap malam dengan kelamin perepuan muda lainnya, tapi tak kulakukan secara paksa, aku meminta pada mereka secara baik-baik dan dengan sedikit imbalan tentunya,” jawabku sama bejatnya.

“Pantas kau punya selalu kencang dan servismu selalu memuaskan!”

“Jangan protes! Toh kau pun tak pernah kecewa bukan dengan permainanku, bahkan semasa hidup pun kau selalu menjadi pelanggan setiaku.”

“Jangan bicarakan soal hidup, cantik!”

“Mengapa? Kau menyesal?”

“Menyesal? Apa perlu lagi aku menyesal?”

“Kupikir kau menyesal, karena aku pun juga punya sedikit rasa penyesalan untuk itu,” nada bicaraku semkin redup.

“Penyesalan apa?”

“Menjadi pelacur! Hingga akhirnya tubuhku hancur dirasuki kenistaan itu, dan mati bagaikan bangkai!”

“Hahaha! Penyesalan yang sama juga denganku, cantik! Akupun juga menyesal telah menidurimu hingga akhirnya aku pun juga ikut mengidap penyakit kutukan itu! Dan memeluk kematian dengan cara yang nisata, senista dirimu!” rutuknya sambil tersenyum meringis.

“Oiya, kalau boleh tahu, di mana makam istrimu?”

“Percis di sebelah kananmu!”

“Dasar kau lelaki tengik gila!” kami sama-sama melanjutkan tawa. Lelucon konyol yang seharusnya kutangisi malah kutertawakan bersama lelaki tengik yang masih dalam keadaan telanjang bulatdi sampingku. Apa memang harus kutangisi, sedangkan masanya sudah tak lagi kembali pada kenangan itu? Entahlah, tak ada bedanya bagiku. [/]

**

Note: Mencoba menulis dalam satu helaan nafas imajinasi, antara sadar dan tidak sadar ^^




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline