Lereng gunung melembah di balik tebing menghampar hijau daun-daun jati, terlentang pandang teras siring petak-petak sawah ladang pengharapan.
Dari pematang kepematang gontai langkah perempuan berambut panjang tergerai tersapu angin. Selintas pandang terselip beban tertahan, bakul tergendong menjinjing rantang, tubuh semampai hidung mancung berbaju kurung, bertapih jarit kawung berkulit langsat sawo matang hatiku terpelanting bimbang.
Pematang menikung, jejak langkah menghilang di antara ranting-ranting lapuk jatuh bersama desah daun jati kering.
hem ...
heemm ...
hee … mmm ...
syair-syair menetas dari butir
butiran batu kali
hijau, merah, biru, kuning, putih dan kulit
kulit menghitam lontarkan kata, kalimah bela bala
fatwa-fatwa tersaji di piring-piring warung
dari deras arus persenggamaan prasangka.
saling tuding, saling tudung
Paruh bulan merajut bayangan, serupa daun kering jatuh ke tanah hanya sesekali berlompatan dari desah terpaan angin mengeja waktu membagi jarak menuju bergantinya musim.
Paruh bulan goreskan sketsa gelapnya malam, tiada lagi permainan jaranan dari pelepah pisang, gobag sodor, kucing-kucingan dan suri bandhem. Tembang-tembang dolanan jamuran, lir -ilir, cublak-cublak suweng tiada kumandang di latar-latar bersama indahnya sinar rembulan.
Paruh bulan siluet anak jaman, anak-anak jejal pengharapan masa depan. bocah-bocah tanpa dolanan, tiada kebersamaan dalam permainan. Paruh bulan tersenyum sendirian, tertawa lepas dalam kemenangan, bahasa bahasa pisuhan terlontarkan pada amarah kekalahan tanpa rasa sungkan.
Paruh bulan tanpa menanti malam, tanpa sinar rembulan, di sudut-sudut ruang tiada tegur sapa sesama. bocah-bocah tanpa belaian kasih sayang tiada lagi mengenal arah dan arahan.
hati melarung hari