Memang betul, istiqomah adalah suatu ritual yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pilihan. Janji saya "mendisiplinkan diri" untuk beropini pada hari-hari tertentu ternyata harus batal. Tahun ini saya melewatkan momen penting di bulan April tanpa menulis apapun. Biasanya ada selorohan nakal sebagaimana tangkapan pandang saya tentang otoritas penjara dan seputarnya yang kemudian saya tuangkan dan bagikan dalam bentuk narasi ndeso dan ala kadarnya.
Sebetulnya kalau diminta untuk memberikan alasan, saya memiliki berbagai macam kesibukan yang siap menjadi bahan baku dalam merancang-bangun sebuah gedung alasan pencakar langit. Saya pastikan di dalam gedung tersebut terdapat ruang-ruang mengelak rumit nan menyesatkan. Siapapun tentu akan dibuat terkulai pasrah jika harus berputar-putar dalam labirin panjang jahanam itu tanpa penghabisan. Uaasuuuwookkk
Akhirnya, pada kesempatan yang sedikit dipaksakan ini saya memilik tekad untuk menyelesaikan sebuah kelakar yang sebetulnya sudah lama saya mulai (namun tidak pernah menemukan babak akhir yang tepat). Kesempatan kali ini saya ingin menyuguhkan sesuatu yang tidak seperti biasa, pembahasan yang menurut saya akan sangat segmented, kental dengan balutan budaya jawa. Akan banyak yang tidak tertaut dengan cerita atau bahkan memahami kondisi ini, pun bagi orang jawa sendiri. Ini juga yang sebetulnya mempengaruhi saya untuk lanjut atau tidak menyelesaikan materi ini.
Tapi mungkin saya akan melabeli tulisan kali ini dengan tagar "#tidakpeduli." Sikap yang dengan sadar saya ambil untuk menunjukan bahwa tulisan ini tidak terikat sama sekali pada upaya yang tersistematika, analisis yang tajam, ataupun dengan rekomendasi yang mutakhir sebagaimana dilakukan oleh para cendekia. Tetap, tulisan ini hanya sebuah ekspresi dan tidak perlu dianggap sebagai rujukan atau statement policy, bahkan ini lebih dekat dengan apa yang dinamakan obrolan warung kopi. Jelas saja sumber dan rujukannya buram dan sulit dipertanggung jawabkan. "wong yo gur guyonan to rii...riii..."
Jumat petang beberapa pekan lalu saya seperti disengat sesuatu. Seketika itu pula segala macam pandangan dan pemikiran yang telah membuncah ingin begitu saja keluar dari liang perenungan. Sengatan itu tak lain adalah wejangan dari seorang "empu" yang dahulu (sebisa mungkin) selalu saya sambangi. Saya adalah pemungut hikmah dari dialektika beliau dengan api ketika menempa tosan aji. Ceceran kebijaksanaannya berserakan, hingga sangat mudah dan tak perlu usaha untuk menemukannya. Tetapi akhir-akhir ini kesempatan seperti itu jarang saya dapati. Lama tidak terdengar suara tapak palu yang beradu menempa materi tosan aji. Tak lagi berkerendap percikan bunga api dengan latunya yang berterbangan memenuhi ruang udara.
"Sang empu telah kehilangan api," tebak saya dalam hati. Sependek akal saya, Api yang kini beliau gunakan sebagai segel pengaman penjara di bukit buitenzorg, adalah sebuah anti-thesa yang panas, mengelisahkan, dan ngeyelan dalam mengupas berbagai piwulang sang empu. Api dengan sedemikian rupa mampu membuat kontras hikmah dari hijab yang menyelaputinya, dan beruntunglah kami yang ada disekitarnya.
Ternyata itu salah besar, belum bisa disebut empu kalau masih memiliki keterbatasan dan hanya bergantung pada sebuah sumber energi. Tanpa api, air yg tenang pun ternyata mampu diolah untuk menyediakan panas dari energi prana-nya. Dan ini setiap saat bisa digunakan untuk menyepuh tosan aji yang tak kalah hebatnya.
Pernah anda mendengar bagaimana keampuhan tosan aji yang memiliki pamor "banyu mili?" Konon tosan aji jenis ini dengan kesederhanaannya itu justru mampu merefleksikan pancaran energi joyo-kawijayan sang empu dengan sempurna tanpa tedheng aling-aling.
Begitu memang, seorang empu mampu memanfaatkan segala unsur api, air, udara, bahkan tanah sekalipun untuk menjadi sumber energi. Seorang empu juga tidak akan kurang akal untuk menemukan bahan-bahan yang akan ditempa, bahkan sebuah batu meteorit saja bisa dibentuk menjadi sebuah bilah gagah dengan lekuk luk-nya yang indah.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa tidak ada aktifitas yang berarti dari sang empu pada akhir-akhir ini. Situasi ini mengganggu batin dan pikiran saya. Dalam hati saya berkata, tak mungkin seorang empu memutuskan lengser keprabon layaknya kesatria. Pekerjaan yang dia lakukan adalah pekerjaan transendental dan diujungnya hanyalah moksa. Tidak ada kata mundur, hanya hancur dan melebur.
Kegelisahan yang coba saya redam ini saya rasakan seperti kerikil didalam sepatu, kecil tapi benar-benar merisihkan.
Dan semalam saya baru mendengar penjelasannya.
Hlaadalaaahh...ini sebuah tingkatan lain yang mungkin saya baru diijinkan untuk terbelalak pada kawisesannya sebelum kembali memungut remah-remah kawicaksanaannya.
Adakalanya seorang empu memilih untuk memutuskan "pati-geni" pada masa-masa tertentu. Memutuskan untuk memadamkan api dalam jiwanya dan menahan diri dari bentuk keinginan apapun. Sebuah kondisi yang perlu pertimbangan panjang dan berulang untuk memutuskannya, dan tentunya dengan beralas dasar ikhlas sebagai lambaran. Masa inilah yang saat ini sedang dialami. Tapi mengapa beliau mengambil keputusan itu pada masa seperti ini? Momentum seperti apakah ini?
Sudah barang tentu ini semua terkait dengan hajat besar kelahiran jabang bayi yang beberapa waktu lalu tengah diselebrasikan. Ya seperti lazimnya sebuah kelahiran, setelah hingar bingarnya tentu perlu ada sebuah tirakat panjang. Tirakat Panjang yang dimaksudkan adalah bagian dari prosesi mengasuh apa yang akan tumbuh. Dan apa yang akan tumbuh, menjadi sebuah hal yang harus di-upakara secara utuh. Tidak bisa parsial, karena mengasuh bukanlah perkejaan yang bisa dilakukan "sambil lalu." Ini periode krusial, dan tentu tak semua orang cocok atau mampu.
Tidak boleh salah asuhan. Jika kita menginginkan pendekar yang tangguh maka kita butuh seorang Begawan Agung yang mumpuni untuk momong serta ndadar ilmu kanuragan maupun ilmu kasampurnan.
Namun sulit untuk menemukan seorang Begawan Agung di zaman sekarang. Karena Begawan Agung bukanlah mereka yang menawarkan diri di ruang-ruang publik. Begawan Agung biasa mendekam dalam ceruk kesunyiannya. Menjauh dari silau sorot lampu panggung dan ritual salim dinas serta tertawa karir atau segala macam kata gantinya.
Semalam saya menyeruput kopi sambil bergumam, mungkin inilah jawaban dari yang saya gelisahkan selama ini.
Meskipun tanpa pengakuan beliau, tapi keyakinan saya mengatakan bahwa sang empu saat ini sedang melakoni pati-geni agar mampu meredam bara yang memanas pada masa ini. Beliau juga menepi untuk "tapa ngrame" agar memiliki sudut pandang yang lebih luas dalam mengamati hingar-bingar, sehingga sang empu akan menjadi pribadi yang sangat siap ketika datang senjakala yang menggantang pudaran sinar. "Berjarak dengan kegembiraan itu adalah cara lain bagi orang bijak untuk mengurangi dampak kesedihan."
Tirakat sang empu tak lain adalah upaya menyiapkan diri, menjernihkan pikir, mensucikan hati dan pada saatnya nanti beliau hadir sebagai Begawan Agung untuk membersamai dan menuntun tumbuh kembang sang jabang bayi. Ini keyakinan saya dan optimisme terhadap si jabang bayi UU Pemasyarakatan yang baru dilahirkan 3 Agustus 2022.
Piwulang sang empu yang mampu saya kupas bermula dari lini masa yang beliau sampaikan. Menurut beliau satu tahun lebih adalah usia yang sudah mulai dilatih berbagai perangkat dan kelengkapannya agar berfungsi dengan baik. Distimulus untuk berkembang lebih maksimal, dilatih berbagai macam sensorinya agar memiliki kepekaan sehingga mampu memberikan respon yang tepat. Sampai pada akhirnya terbentuk naluri agar mampu mengatasi apa yang telah menjadi ketetapan takdirnya.