Suatu siang, di sebuah bangunan jangkung di Kawasan Sudirman Jakarta, Jon Balekon yang sudah tak tahan lagi masuk ke toilet. Sedang enak-enaknya Jon Balekon meringis menunaikan tugas alaminya, tiba-tiba di sebelahnya ada yang 'nyeletuk', "Mas...enak ya kalau semua apa yang kita lakukan seperti pipis ini....tanpa beban."
Jon menoleh. Yang bicara tadi ternyata bapak tua beruban yang juga sama-sama pipis sambil senyum-senyum.
"Apa maksud bapak...?" tanya Jon Balekon yang belum pernah kenal orang itu.
"Begini Mas.....Kita ini tiap hari minum air yang berguna untuk berbagai proses yang ada dalam tubuh kita. Limbahnya lalu dikeluarkan dari dalam tubuh lewat proses kencing ini, disamping melalui keringat. Coba kalau kita tidak kencing...wuaaah bisa jadi penyakit. Kalau ditahan ... wuahhhh bisa membikin kita meringis .... Dan manakala sempat tertahan beberapa saat karena suatu sebab, begitu dikeluarkan rasanya lega...lega sekali....." kata bapak tadi.
"Lantas selanjutnya bagaimana pak...? Apa kaitannya dengan ucapan bapak sebelumnya bahwa kita akan menjadi enak kalau semuanya bisa dilakukan seperti pipis itu," tanya Jon Balekon.
"Begini mas, “ kata bapak tua, “ kadang-kadang - bahkan bisa jadi pula sering - kita ini melakukan sesuatu karena terpaksa. Yaitu saat memberikan ilmu kita, senyum kita atau sebagian harta kita kepada orang lain. Mengapa terpaksa ? Tentu karena ada sesuatu sebab. Biasanya karena ada pamrih. Pamrih itu ya macam-macam. Pamrih agar kita dibayar, agar kita tidak dianggap pelit, agar kita selamat, agar kita disanjung, agar kita disenyumi orang...".
Jon Balekon mengerti lalu menjawab, "Oooooo.... itu tho maksudnya, pak ? Saya bisa paham.... hehehe.... Tapi ada kelanjutannya pak... ”
“Maksudnya bagaimana, mas ?”
“Kalau ucapan bapak tadi dipikir lebih jauh, kita ini sangat beruntung. Bersyukur karena dilengkapi dengan warning system yang menyebabkan kita menjadi lega ”.
“Apa maksudnya warning system itu, mas ?” .