Lihat ke Halaman Asli

Tuan Kesepian

Diperbarui: 6 Februari 2019   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Empat mug beda bentuk teronggok di sudut kamar. Semuanya menanggung ampas kopi yang mengering di dasarnya. Tak tersentuh entah berapa waktu. Tiga buntalan kertas pembungkus nasi ikut menemani dalam ikatan karet yang menggulung asal-asalan. Semuanya membisu di atas lantai dingin, lembab, dan berdebu tebal.

Tuan Kesepian tergolek di situ. Merenung di dalam kamar kos. Ia tidak pernah pergi berkencan, karena dia terlalu sibuk dengan lembur yang berkepanjangan. Tak beralasan, bahwa waktu yang sangat berharga menguap begitu saja untuk sekadar internet-an. Bisa dipastikan, bahwa di usianya yang lewat tiga puluhan tahun, ia masih melajang. Menolak dijodohkan. Ia tak pernah peduli dengan perkara lain selain dirinya sendiri.

"Lagi apa?" Juga "Apa kabar?" pesan singkat dari Bapaknya. Tuan Kesepian hanya menjawab seperlunya. "Baru pulang" dan "Baik-baik saja."

"Ya sudah. Hati-hati di sana, jangan lupa salat, ya." Pesan Bapaknya yang disahut dengan balasan singkat: "Ya, Pak."

Tuan Kesepian jauh dari menarik. Ia terlihat mengerikan dalam kondisi macam apa pun. Perutnya buncit seperti pantat mangkuk yang tergolek di bawah dipannya, kulitnya hitam lagi keriput. Jerawat di kulit wajahnya terlihat seperti jamur-jamur di musim hujan semakin memperparah lekuk wajahnya yang bulat kusam tertutup debu nikotin. Hidung yang tak mancung dan rambut yang berantakan benar-benar merusak pemandangan. Seringkali, tangannya menggaruk-garuk kulit kepalanya yang ketombean, di tempat umum dan keramaian."Oh, tuhan, sungguh menjijikkan. Mana ada perempuan yang tahan di dekatnya."

Mengapa pria itu bagai surga dan neraka dibandingkan kedua orangtuanya? Ibu dan Bapaknya, cantik dan tampan. Sungguh, mereka kerap merasa bingung dengan anak sulungnya yang sama sekali tak menunjukkan kesan bahagia. Sangat jauh berbeda dengan penampilan adiknya yang selalu mengikuti larinya zaman. Hanya postur tinggi jangkung dan kecerdasan di atas rata-rata yang dapat dibanggakan. Sungguh sangat disayangkan, bahwa ia juga tidak terlalu suka dengan kegiatan berolahraga.

Orangtuanya adalah tipe orang tua yang penuntut yang kerap meneror Tuan Kesepian dengan pertanyaan-pertanyaan yang kejam di saat mudik lebaran.

"Kapan kamu menikah?" Itu pertanyaan yang selalu berulang pada satu jam pertama saat Tuan Kesepian beradu muka dengan kedua orangtuanya.

"Nanti, Bu. Nanti, Pak, belum saatnya saya menikah."

Begitulah jawabnya yang dibalas dengan raut wajah kecewa dari kedua orangtuanya.

Kata Ibunya, "Apa kamu tidak punya pacar?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline