Lihat ke Halaman Asli

An.Sastra

Jurnalis

Asmara Renjana

Diperbarui: 2 Oktober 2024   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (dokpri/sastrajendra)


Balarama menatap langit yang berwarna kelabu, memantulkan seluruh resah yang ia pendam di sudut-sudut hatinya. Di seberang padang rumput yang sunyi, di bawah pohon akasia yang melengkung seperti punggung seseorang yang lelah, Asmara Renjana, perempuan yang seakan mengisi setiap celah kekosongan dalam dirinya. Angin yang berembus pelan seolah menjadi perantara kerinduan di antara mereka, menghantarkan bisikan yang tak pernah terucap.

Asmara Renjana, nama itu meluncur dari bibir Balarama seperti melodi lama yang selalu menyesakkan dadanya. Setiap hurufnya adalah dengung kerinduan, setiap nadanya adalah panggilan yang tak berani ia jawab. Ia tahu bahwa perempuan itu bukan miliknya, perempuan yang akan terikat janji sakral dengan laki-laki lain. Namun, entah mengapa, saat mata mereka bertemu di persimpangan nasib, dunia seolah terhenti. Waktu menjadi rel kereta yang berkarat, diam dalam jeda yang tak terelakkan.

Malam itu, di bawah langit yang kelam, mereka bertemu lagi. Duduk berdampingan di sebuah bangku kayu tua yang sudah rapuh, mereka berbagi kesunyian.

"Kita ini seperti dua burung yang terbang di langit yang sama, tapi sayap kita terikat pada arah angin yang berbeda," kata Balarama dengan suara pelan, namun cukup untuk menghancurkan benteng yang telah Balarama bangun di hatinya.

Asmara Renjana hanya tersenyum pahit, matanya menatap jauh, seakan mencari jawaban di balik gugusan bintang yang terhalang awan. Balarama kembali memecah keheningan dengan mengatakan.

"Kadang-kadang aku berpikir bahwa kita ini kutukan bagi diri sendiri," ucapnya dengan mata kosong memandang ke arah langit. "Mencintai tanpa bisa memiliki, merindukan tanpa bisa menyentuh, namun bangsatnya aku menikmati semua kutukan ini."

Mereka saling memandang dalam diam, dan di sana, di tengah kebisuan, ada perasaan yang tak terucap, mengalir antara mereka seperti sungai yang tenang namun dalam. Balarama merasakan berat kepala Asmara yang bersandar di bahunya, dan seketika dunia terasa lebih ringan. Sementara itu, Asmara Renjana menutup matanya, merasakan detak jantung Balarama yang teratur, seolah-olah setiap degupnya adalah irama yang menenangkan gundah di hatinya.

"Apkah kita ini sepasang kekasih yang saling memiliki satu sama lain? Atau kita ini hanya sebuah karangan puisi pujangga yang di tulis di tengah kesepianya, nasibnya," lanjut Balarama pelan, hampir berbisik. "Sepertinya kita di pertemukan untuk saling mengisi kelegaan dalam kerumitan."

Asmara Renjana mengangguk pelan, air mata yang tertahan di ujung matanya perlahan turun, membasahi pipi yang tak pernah ia tunjukkan pada dunia. Di hadapan Balarama, ia bukan perempuan kuat yang dikenal banyak orang. Ia hanyalah Asmara Renjana yang lelah, yang sepi, sosok anak kecil manja, yang mencari ketenangan dalam lengan yang tak boleh ia dekap selamanya.

"Balarama, hidup ini begitu aneh," gumamnya. "Mengapa kita harus bertemu jika pada akhirnya kita tak bisa bersama?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti kabut yang menutupi jalan. Balarama ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa pertemuan mereka adalah pelajaran, bahwa rasa nyaman di antara mereka adalah keajaiban kecil di tengah kekacauan dunia. Namun, kata-kata terasa tak berguna di hadapan kenyataan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline