Baruklinting melayangkan pukulan tangan kirinya yang sudah terisi tenaga pranasakti sudah melayang ke arah kepala atau kedua mata lawan. Karena pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan hawa sakti dan, dan dengan yang sangat cepat sekali, maka ki Janggarana menjadi terkejut dan dia tidak berani menganggap ringan pada Baruklinting.
Ki Janggarana menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan dengan secepat kilat menangkap pergelangan tangan Baruklinting, dengan sekali tangkap dia mencengkeram lengan anak itu , yang sama sekali tidak mampu bergerak lagi dan ki Janggarana sudah mulai tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha... hauhhh...huuuhhh… huuuhhh!”
Suara ketawa yang mengandung perasaan puas yang tak terhingga, karena merasa mampu menangkap tangan bocah remaja itu dengan mudahnya. Dia ingin menunjukkan kepada yang hadir bahwa satu jurus serangan Baruklinting dapat dipatahkan.
Mendadak suara ketawa itu berubah menjadi seruan kaget, ketika dia merasa bahwa energy pranasakti yang disalurkan pada tangan kanannya untuk menangkap pergelangan anak itu, kini melekat pada pergelangan tangan itu dan energy pranasaktinya membanjir keluar, terhisap oleh tangan Baruklinting !
“Sit….. Si….trul Ambyak...!”
Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur. Semakin kuat dia mengerahkan tenaga sakti untuk melepaskan tangannya, maka semakin hebat pula tenaga saktinya membanjir keluar, tidak hanya energinya yang terhisap lenyap, melainkan semua ilmu kesaktian yang dimilikinya juga lenyap seketika. Demikian cepat dan kuatnya hawa murni itu keluar dari tubuhnya disedot oleh lawan sehingga sebentar saja mukanya menjadi pucat dan tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga dan bahkan tidak ingat lagi ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya bertahun-tahun.
“Kini gerakan ke dua dari jurus mautku!” teriak pula Baruklinting dan dengan tangan kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Sitrul Ambyak, dibantingnya tubuh itu ke atas papan panggung.
“Brukkk!”
Papan panggung jebol dan tubuh ki Janggarana amblas ke dalamnya sebatas pinggang! Tentu saja peristiwa seperti ini sama sekali tidak pernah diduga sebelumnya oleh semua orang yang hadir menyaksikan disitu , sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang mencekam.
Semua yang hadir disitu menahan napas menyaksikan peristiwa yang aneh dan dan tidak ada seorangpun yang tidak merasa heran dengan apa yang mereka lihat.
Ki Janggarana meronta-ronta dan keluar dari dalam lubang papan sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh sorak-sorai dan tepuk tangan mereka.
Dalam pada itu, nampak berkelebat bayangan putih dan ki Janggarana dibawanya melayang ke tempat duduknya, setelah diperiksa dan ternyata tidak terluka,. Orang yang menolong ki Janggarana adalah Ki Sanggaruti wakil ketua Padepokan Mawar Biru wilayah selatan ini melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Baruklinting.
Mereka berhadapan dan beberapa saat lamanya Ki Sanggaruti memandang dengan penuh perhatian, mukanya menjadi semakin merah dan matanya beringas menjadi makin galak.
Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa muridnya telah dipermainkan seorang anak remaja, bukan hanya dipermainkan, bahkan dipermalukan di hadapan orang banyak, karena dirobohkan dalam satu jurus saja.
Dia tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian sakti sehingga mampu merobohkan muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau memang muridnya yang tidak hati-hati.
Tadi Baruklinting penuh semangat naik ke atas panggung karena dia melihat keselamatan Surajaya, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Padepokan Gunung Merbabu itu terancam bahaya.
Kini, ketika dia melihat bahwa Surajaya telah pergi tanpa pamit, maka Baruklinting kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung. Dia datang kearena pemilihan Pemimpin kaum sesat itu, hanya mewakili ki Ageng Kaladite untuk menonton acara pemilihan calon Ketua, guna menambah pengalamannya.
Kini setelah melihat bahwa tidak ada lagi yang harus dilindunginya, Baruklinting mendapatkan kembali ketenangan dan watak aselinya yang pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia memberi hormat dan suaranya halus penuh hormat ketika dia berkata, “Harap maafkan saya.”
Akan tetapi ki Sanggaruti sudah marah sekali.
“Bocah sombong, kalau memang kau mewakili Padepokan Gunung Merbabu dan hanya akan menghina Padepokan Mawar Biru, hayo maju dan kau lawan aku!”
Kembali Baruklinting memberi hormat, “Saya tidak tahu apa-apa tentang permusuhan antara Padepokan Gunung Merbabu dan Padepokan Mawar Biru, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap anda tidak mendesak dan saya akan menjadi penonton saja.” Setelah berkata demikian, Baruklinting sudah meloncat turun dari atas panggung.
Ki Sanggaruti menjadi semakin marah. Dia adalah wakil ketua Padepokan Mawar Biru yang sangat berpengaruh di pesisir selatan, dan ki Janggarana adalah muridnya yang pertama, dan diandalkan oleh Padepokan Mawar Biru sebagai tokoh ke tiga, sesudah ketua dan wakil ketua.
Bagaimana mungkin dia dapat menganggap selesai urusan itu begitu saja, setelah Padepokan Mawar Biru mengalami penghinaan hebat dari seorang anak remaja yang mengaku dari Padepokan Gunung Merbabu?
“Bocah brengsek, hayo kau naik lagi keatas panggung ini!” bentaknya.
Dan Ki Sanggaruti secepat kilat telah menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Baruklinting yang sudah meloncat turun dari atas panggung.
“Syuuuuttt...!”
Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Baruklinting. Itulah pukulan jarak jauh meskipun hanya desiran angin saja, namun amat berbahaya melebihi pukulan tangan langsung.
“Hemmm, harap jangan mendesak, tetua yang mulia!”
Baruklinting mengibaskan tangannya dan pukulan itu dapat ditangkisnya! Tentu saja ki Sanggaruti terkejut dan semakin marah. Sebelum dia menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat naik ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah ki Bandawasa, dan ki Tunggarana, dua orang pimpinan dari Padepokan Naga Api selaku penyelenggara.
“Harap tetua bersabar. Sebagai calon pemimpin tidak semestinya bertanding sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya kalau bertanding dengan seorang di antara penonton. Kecuali kalau anak remaja itu diangkat menjadi calon pula, maka tetua akan dapat berhadapan dengan dia secara sah.”
“Betul! Kami mencalonkan dia menjadi pemimpin!”
Tiba-tiba terdengar teriakan dari para wakil peninjau rombongan Padepokan Monyet Putih dan suara ini segera disusul pula oleh para wakil dari golongan putih, dari Padepokan Watugilang dan dari beberapa orang pendekar yang tadinya hanya datang sebagai penonton saja.
Melihat kesaktian bocah remaja ituj, apalagi mendengar bahwa dia itu murid Padepokan Gunung Merbabu, mereka merasa suka dan setuju kalau Baruklinting menjadi pemimpin. Baruklinting cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas.
“Saya tidak ingin menjadi pemimpin, saya hanya ingin menjadi penonton saja!”
Ki Bandawasa lalu berkata lantang, “Kalau orang tidak mau menjadi calon pemimpin, pun tidak dapat dipaksa. Harap para tetua suka mundur dulu dan sebaiknya urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri setelah urusan pemilihan pemimpin selesai.”
Ki Sanggaruti mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia menoleh ke arah Baruklinting, memandang tajam lalu berkata, “kau tunggu saja, setelah urusan ini selesai!”
Lalu dia kembali ke tempat duduk semula. Kini dimulailah acara pemilihan umum untuk memilih calon Pemimpin golongan hitam yang dipandu oleh ketua penyelengara Ki Bandawasa, dari Padepokan Nagageni. Kemudian diadakan undian untuk menentukan siapa yang harus maju lebih dulu untuk saling berhadapan.
Ternyata yang mendapatkan giliran pertama adalah ki Wisakala melawan ki Jebengplampitan, yang menurut peraturan harus lebih dulu bertanding untuk menentukan kemenangan di antara keduanya agar si pemenang dapat maju ke babak berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H