Lihat ke Halaman Asli

Baruklinting [165]

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pangeran Gendra Kumara tertawa-tawa, tetapi dia tidak mempedulikannya,  dengan sikap yang serius Baruklinting mendorong wanita-wanita pelayan itu keluar dari dalam kamarnya. Baruklinting cepat menutup daun pintu  kamarnya dan  bersandar dibalik daun pintu itu dengan dada berdegup kencang terasa sesak.

Suara ketawa Pangeran Gendra Kumara masih terdengar olehnya. Baruklinting  merasa bingung, menghadapi ulah  Pangeran muda itu, baik ucapan maupun sikapnya itu. Baruklinting memang masih asing dalam urusan dengan wanita.

Betapapun juga, didikan ibu kandungnya tentang sikap dan perilaku, kemudian ketika  ikut ki Sarayuda, banyak menerima bimbingan tentang tata susila, bahkan dia memperoleh kesempatan untuk membaca kitab-kitab kuna tentang sopan santun dan kehidupan.  Maka  dia dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh nona Gunarti dan Pangeran Gendra Kumara itu adalah perbuatan yang tidak senonoh dan melanggar batas-batas kesusilaan! dia sadar bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah mudanya yang dibangkitkan oleh bayangan-bayangan asmara membuat dadanya berdebar dan darahnya bergejolak!

Makin ditekan perasaan asmara yang menggelora itu, maka semakin kuat nafsu berahi itu menyerangnya sehingga Baruklinting tidak dapat tidur. Dengan gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas pembaringan, telinganya seolah-olah mendengar suara bisikan halus dan ketawa yang menimbulkan gairah hatinya. Suara  desah wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi.

Semua ini semakin mengganggu hatinya dan akhirnya Baruklinting tidak kuat bertahan lagi dalam kamarnya, lalu diam-diam dia keluar melalui jendela dan membiarkan angin malam menyejukkan tubuhnya, walaupun hatinya masih juga panas dan berdebar.

Dicobanya untuk bermeditasi di tengah taman indah yang sunyi dan remang-remang itu, namun usahanya sia-sia belaka, makin diusir bayangan-bayangan wanita itu, semakin jelas nampak kecantikan mereka dan jelas terdengar suara halus mereka membujuk rayu. Dia selalu membayangkan wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum yang memikat tadi, bahkan kini seperti mendengar suara ketawa Pangeran Gendra Kumara yang diselingi suara tertawa kecil nakal dari wanita-wanita itu.

Nafsu berahi yang menggelegak itu, tidak mungkin timbul dengan sereta merta tanpa adanya catatan pikiran yang membayang-bayangkan sebuah kenikmatan yang menyenangkan itu.

Tentu saja tidak mungkin untuk menekan atau menghalau nafsu berahi yang sedang timbul,  dengan menghentikan secara mendadak. Kalaupun dapat berhasil, mungkin hanya sementara saja dan nafsu itu akan selalu timbul kembali, kemudian diusir datang lagi, diusir lagi dan kita terseret ke dalam siklus konflik yang berulang-ulang, terus menerus.

Demikian pula dengan halnya Baruklinting, seperti juga kebanyakan di antara kita, dia ingin melarikan diri dari nafsu berahi yang sudah mencekamnya, ingin mengusir nafsu berahi itu karena menurut anggapan Baruklinting  bahwa nafsu berahi yang sedang menguasainya itu tidak baik, melanggar tata susila dan sebagainya.

Memang akhirnya dia berhasil, tetapi dia merasa lelah lahir batin. Ketika  lewat tengah malam dia kembali ke kamarnya, dengan badan dan batin lemas, seolah-olah dia habis berkelahi melawan musuh yang amat kuat. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan tidur pulas.

Namun yang terjadi, di dalam tidurnya itu, sang nafsu berahi masih terus melanjutkan sepak terjangnya dalam buaian mimpi, nafsu berahi  itu meminta dituruti sampai terjadi pemuasan!  Baruklinting bertemu dengan nona Gunarti, yang membujuk rayu dia, dan berbeda dengan kenyataan di sore hari tadi, dia menyambut dara itu dengan gembira, memeluk dan menciuminya.

Dalam keasyikan bercinta, kesenangan bermain cinta seperti yang belum pernah dirasakan sebelumnya, hanya dibayangkannya saja itu, tiba-tiba kesadarannya melawan lagi dan Baruklinting terbangun dari mimpi itu. Tubuhnya penuh keringat dan celananya menjadi basah!  Baruklinting duduk terengah-engah, tubuhnya terasa lelah kehabisan tenaga, dia merasa lega, seolah-olah persoalan yang menekan hatinya telah selesai. Setelah membersihkan diri, dia lalu tidur lagi dan sekali ini tidurnya pulas tanpa gangguan apapun.

Pada keesokan harinya, Pangeran Gendra Kumara muncul dengan wajah berseri dan kedua lengannya memeluk pinggang ramping dua orang di antara lima pelayan wanita yang kemarin melayaninya. Tidak nampak nona Gunarti di antara mereka.



Setelah melihat Baruklinting keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapi karena pagi tadi Baruklinting sudah bangun dan mandi kemudian bertukar pakaian, pangeran itu mencium mulut dua orang itu bergantian, ciuman yang membuat Baruklinting berpaling membuang muka.

“Ha-ha, kalian manis sekali dan akan kuingat kalian. Sekali waktu aku akan menyuruh utusan menjemput kalian menjadi selir-selirku. Nah, pergilah, sampaikan kepada Tumenggung Gunawikara bahwa kami akan berangkat pagi ini, agar disediakan dua ekor kuda yang terbaik.”

Sambil tertawa pangeran itu mendorong dua orang dara pelayan yang tersenyum dengan muka berseri itu dan mereka pergi dari situ sambil berlari kecil, seperti dua ekor kupu-kupu yang indah beterbangan di atas bunga-bunga.

“Ha-ha, pilihanku tepat, Baruklinting. Mereka berdua itu adalah gadis-gadis yang mulus dan manis, menyenangkan sekali. Kalau sudah ada kesempatan, aku tentu akan mengirim utusan untuk menjemput mereka.” Kemudian pangeran itu menatap wajah Baruklinting dengan alis berkerut.

“Baruklinting, kenapa kau begitu bodoh? Benarkah katamu malam tadi bahwa engkau belum pernah berdekatan dengan wanita?” Baruklinting menggeleng kepala .

Dia  berkata untuk mengalihkan percakapan dari dirinya. “…Dan yang lain-lain... nona Gunarti itu, ke mana? Mengapa tidak bersamamu, Pangeran Gendra Kumara?”

Pangeran itu tertawa. “Aku bukan orang bodoh,  Adi Baruklinting dan aku paling benci kepada wanita yang palsu.”

“Maksudmu?”

“Nona Gunarti itu sengaja hendak menyerahkan dirinya dengan  pamrih  menjadi selir seorang Pangeran, bahkan orang tuanya juga mendorongnya. Aku tidak sudi dijebak seperti itu. Kalau dua orang dara pelayan itu lain lagi, mereka menyerahkan diri karena memang suka kepadaku. Sudahlah, engkau tentu tidak mengerti. Mari kita siap-siap untuk berangkat. Nah, itu Tumenggung Gunawikara datang sendiri!”

Pembesar itu memberi hormat kepada Pangeran Gendra Kumara, biarpun sikapnya ramah-tamah dan sopan santun, Baruklinting melihat adanya kekecewaan membayang pada wajah pembesar ini. Dia tidak tahu benar apakah kekecewaan itu ada hubungannya dengan penolakan Pangeran Gendra Kumara terhadap puterinya!

Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu melanjutkan perjalanan, menunggang dua ekor kuda baru pilihan, kedua kuda itu menghentakkan kakinya perlahan menuju keluar kota dan melanjutkan perjalanan ke arah timur.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline