Lihat ke Halaman Asli

Baruklinting [162]

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pada saat itu, Baruklinting sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia hanya membelalakkan mata dan menanti maut dengan mata terbuka. Harapannya habis ketika dia melihat bahwa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang oleh Pangeran Gendra Kumara itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan.

“Crotttt...!”

Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke punggung! Sepasang mata ki Suragentho terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan teriakan .

“Oughhhhh... Pangeran... mengapa...aku yang dibunuh…..?”

Tubuhnya terlempar kebelakang dan goloknya terlepas dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus jantungnya.

Rasa kaget dan heran yang hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan darah yang terhenti,“Plong...!” dan Baruklinting mampu bergerak lagi.

Dia bangkit duduk dan memandang Pangeran Gendra Kumara sambil bertanya, melanjutkan sepotong pertanyaan yang keluar dari mulut ki Suragentho sebelum tewas tadi, “Mengapa engkau lakukan itu? Mengapa kau membunuh dia?”

Kini Pangeran Gendra Kumara memandang dengan mata terbelalak.

“Baruklinting, kau... kau... dapat bergerak…..?

Bukankah ki Suragentho tadi menotokmu?” Pangeran Gendra Kumara merasa heran.

Baruklinting mengangguk. “Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Tetapi , kakang Gendra Kumara, mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh dia yang menjadi pembantumu?”

Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat ki Suragentho dan menendangnya. Dia ini menjemukan sekali! Dan engkau mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan curang pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau terancam bahaya seperti tadimyang dilakukan oleh Suragentho. Dia ini hebat sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan, belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya.”

“Kakang Gendra Kumara, aku tahu bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula mengapa Ki Suragentho membenciku dan hendak membunuhku. Sungguh  aku tidak mengerti mengapa engkau membunuhnya. Bukankah Tiga Serangkai dari Nusakambangan itu merupakan pembantu-pembantumu, orang-orang  pemerintah Pajang?”

“Dia layak mampus, Baruklinting. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama, di waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan mengejutkan aku. Itu saja sudah cukup baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau adalah sababatku. Perbuatannya itu berarti tidak mengindahkan aku dan lancang, merupakan dosa tak terampunkan.  Dan ke tiga, dia tidak boleh membunuhmu, karena selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga adalah calon saudara seperguruanku.”

“Ehh..calon saudara seperguruan….?” Baruklinting berseru heran.

“Lupakah kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid manusia sakti yang bermukim di candi Gedong sanga di bukit Tedeng lereng selatan Gunung Ungaran itu? Sudahlah, kematian orang ini tidak perlu diributkan lagi, dia mati sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan dia itu kuanggap menentang atasan. Mari kita melanjutkan perjalanan…..”

Mereka naik ke atas punggung kuda masing-masing. “kakang Gendra Kumara, aku berhutang nyawa kepadamu.”

“Ah, jangan berlebihan, Baruklinting. Engkau telah berhasil membebaskan totokan dan tanpa kubantu pun, belum tentu ki Suragentho mampu membunuhmu.”

Baruklinting  tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia tahu benar bahwa tanpa bantuan Pangeran Gendra Kumara, dia tentu telah tewas oleh golok ki Suragentho yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri dari totokan.

Pangeran Gendra Kumara bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat. Baginya seakan-akan membunuh ki Suragentho itu merupakan hal biasa saja dan diamdiam Baruklinting merasa makin menyesal mengapa Pangeran Gendra Kumara yang telah menarik hatinya dan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya. Melihat ki Suragentho tewas dan mayatnya ditinggalkan begitu saja, dia tidak merasa terlalu menyesal karena memang orang itu hanya akan menyebar kejahatan dengan mengandalkan kepandaian. Akan tetapi melihat binatang-binatang hutan yang sama sekali tidak bersalah itu dibunuh begitu saja, benar-benar dia merasa betapa hatinya perih dan menyesal.

Selama tiga hari, Baruklinting melihat betapa Pangeran Gendra Kumara yang tampan itu bergembira ria, mengejar harimau dan kijang, dan selama tiga hari itu, belasan ekor binatang telah menemui ajalnya, mati dan dibiarkan bangkainya membusuk dan dimakan binatang-binatang lain.  Memang ada di antara korban-korban itu yang dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua, tetapi hanya sedikit dan tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya binatang yang tewas.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline