Dua orang jawara itu sudah meloncat ke atas panggung dengan ciri khas perguruan masing-masing, disambut sorak-sorai oleh para penonton dan para pendukung mereka.
Ki Wisakala, bertubuh tinggi kurus berusia enam puluhan tahun itu menggunakan senjata tongkat dari kayu Galih asem. Dia mulutnya tersenyum-senyum, dan di kalangan pesilat bagian selatan, nama ki Wisakala ini sudah sangat terkenal sebagai Pemimpin kaum preman dan gelandangan.
Namun jarang ada tokoh yang pernah menjajagi tingkat ilmu kepandaiannya, karena dia kini telah mengundurkan diri di tempat sunyi dan jarang sekali bentrok dengan fihak lain.
Sebagai lawan bertandingnya adalah, ki Jebengplampitan, tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan dari gerak-geriknya sudah cukup menunjukkan bahwa guru silat ini memiliki tenaga yang besar. Dia sangat terkenal di antara guru silat, tukang pukul, dan para pengawal barang, di kawasan Karangkobar. Biarpun dia tidak memegang senjata seperti Ki Wisakala yang bersenjatakan tongkat galih asem, namun orang dapat melihat bahwa ikat pinggangnya terbuat dari baja yang dibuat sedemikian lentur, dan hanya orang yang memiliki kepandaian tinggi saja yang dapat menggunakan .
“ki Wisakala, apakah begitu maju engkau hendak menggunakan tongkatmu?” ki Jebengplampitan bertanya.
ki Wisakala itu tersenyum. “Tidak, ki Jebeng, aku cukup mengerti akan peraturan. pertandingan? Pertama dengan tangan kosong, kalau telah seratus jurus belum ada pemenangnya, barulah kedua calon boleh menggunakan senjata masing-masing. Benarkah begitu, ketua?” tanyanya sambil menoleh ke arah ki Bandawasa.
Ki Bandawasa itu mengangguk. “Hanya senjata di tangan, bukan senjata rahasia! Penggunaan senjata rahasia tidak diperkenankan, kecuali kalau kedua calon saling menyetujui.”
“Ha-ha-ha, tongkat Galih asemku ini sudah cukup untuk mengusir segala macam anjing kurap, jadi tidak perlu menggunakan senjata rahasia? Nah, aku sudah siap, ….”
Sambil berkata demikian, ki Wisakala melontarkan tongkat Galihasem nya yang meluncur seperti anak panah dan menancap di ujung papan panggung, bergetar dan mengeluarkan bunyi. Tenaga lontaran ini membuktikan bahwa kakek memiliki tenaga yang kuat, sehingga tongkat itu menancap di papan kayu yang keras itu seperti sebatang anak panah saja.
Ki Jebengplampitan juga maklum bahwa lawannya bukan orang sembarang, maka dia sudah siap memasang kuda-kuda dengan kedua lengan disilangkan, jari-jari tangannya dibuka dan membentuk cakar harimau. Ki Jebeng ini memang terkenal sekali dengan ilmu silat gaya pesisir timur yang mengutamakan cengkeraman dan tangkapan.
Agaknya ki Wisakala juga mengenal ilmu itu, maka dengan tenang dia pun memasang kuda-kuda dengan sikap lembut untuk mengimbangi lawan yang akan melancarkan serangan dengan mengandalkan kekuatan jari tangan dan kecepatan.
“Lihat serangan!”
Ki Jebeng Plampitan mulai menyerang, kedua tangannya bergerak hampir berbareng, yang kiri mencakar ke arah kedua mata lawan sedangkan yang kanan menyusul cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama sebagai serangan pembukaan ini cukup berbahaya!
“Bagus!”
Ki Wisakala mengeluarkan teriakan dan dia memutar tubuhnya ke kanan, membalik dan setelah menghindarkan cakaran pada kedua matanya berhasil menangkis cengkeraman pada pusar, lalu dibarengi dengan kaki kirinya yang panjang itu meluncur dan menendang ke arah lutut lawan. ki Wisakala memang mahir sekali menggunakan kaki, baik untuk melangkah secara teratur dan mudah mengelak serangan lawan maupun untuk balas menyerang dengan tendangan kilat.
“dukk!”
ki Jebengplampitan berhasil menangkis tendangan itu, dengan tangan kanannya lalu balas mencengkeram ke arah leher yang dapat pula dielakkan oleh ki Wisakala. Kiranya kedua orang ini begitu bergebrak telah saling mempergunakan kecepatan untuk mencari kemenangan. Pertandingan berjalan makin cepat, sehingga akhirnya mereka yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya menjadi kabur pandang mata mereka dan tidak lagi dapat mengikuti gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu semakin cepat gerakan mereka. Yang nampak hanya bayangan tubuh kedua orang itu berkelebatan dan kadangkadang ruwet menjadi satu!
Semua serangan ki Jebengplampitan kebanyakan dielakkan dengan gesit oleh lawan, sebaliknya serangan balasan ki Wisakala sengaja ditangkis oleh ki Jebeng Plampitan itu dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Sebetulnya, kedua fihak sudah merasa penasaran sekali dan sudah gatal tangan mereka untuk mencabut senjata dan mengandalkan keahlian mereka dengan senjata masing-masing. Namun karena merekapun mengerti bahwa pertandingan mereka belum lewat seratus jurus, maka terus saling serang dengan tangan kosong yang semakin seru.
Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dibarengi berkelebatnya bayangan orang tinggi besar ke atas panggung,
“Kalian berdua turun dari panggung…!”
Dan sungguh luar biasa, dua orang kakek yang sedang saling serang itu tiba-tiba terdorong dan terlempar ke kanan kiri dan terjatuh keluar panggung!
Semua orang memandang dan ternyata yang berdiri di atas panggung itu adalah seorang lelaki berusia enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar mukanya bopeng dan seperti tengkorak. Tentu saja mereka semua mengenal, terutama sekali para bajak sungai. Pendatang baru itu adalah ki Suragentho, orang ke tiga dari Tiga Serangkaidari Nusakambangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H