Lihat ke Halaman Asli

Baruklinting 134

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Dan aku tidak suka padamu!”  sahut Baruklinting, sebelum kakek itu menyelesaikan ucapannya.

“Kenapa?”

“ Karena kau jahat! Kau mengganggu peti jenazah kakekku.”

“Dia yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku datang dia sudah mati, maka untuk melepaskan rasa mendongkol di hatiku, apa salahnya jika aku sedikit mengganggu peti jenazahnya?”.

“Kau jahat, kau menyiksaku, bahkan hampir membunuh.” Baruklinting sengaja memojokkan kakek itu.

“Anak bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel dan membikin hatiku penasaran.”

Jawab kakek cebol itu, yang sudah semakin mendongkol dengan jawaban-jawaban Baruklinting.

“Lalu kau mau apa sekarang?” tanya Baruklinting dengan pongahnya.

“Mau apa? Mau mengajakmu ke tempatku di puncak Gunung Prau, tinggal di sana bersamaku, menjadi muridku, menjadi anakku... heh-heh, kita memiliki sifat-sifat yang cocok!”

“Tidak, aku mau pergi saja!”

Baruklinting berkata demikian, seraya membalikkan tubuhnya dan  akan  melangkah kabur.

“Kembali ke Gunung Merbabu ? di sana ta seorangpun suka padamu?” bujuk Ki kaladite

“Tidak, aku tidak sudi ke Gunung Merbabu. Aku akan pergi ke mana saja!”jawab nya

“Kalau tujuanmu tidak jelas, mengapa tidak bersamaku saja ke Gunung Prau? Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu.” Kakek cebol ini masih membujuk Baruklinting.

Baruklinting memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada suara mengejek, “Engkau? Mengajarku? Huh, apa sih kepandaianmu, baru menghadapi orang-orang  Gunung Merbabu saja engkau lari terkencing-kencing!”

“Aku…,?Lari…? Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa ki Ageng Kaladite! Kalau aku sudah berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah seratus orang lagi, takkan mampu melawanku. Sekarangpun, kalau mereka maju satu demi satu, apa kaukira aku kalah?”

“Perguruan Gunung Merbabu adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kakek Wanabaya seorang yang luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kakek, sekarang mana bisa aku merendahkan diri menjadi muridmu? Kepandaianmu sampai di mana aku belum tahu.”

Kakek itu menjadi uring-uringan saking marahnya. Lalu dia meloncat ke depan, tangan kanannya menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, tangan kirinya menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu.

Baruklinting hanya mendengar suara “plak-plak!” akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak bergoyang! Baruklinting hampir tak kuat menahan ketawanya. Dia memandang dengan senyum mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya.

“Uh, hanya sebegitu saja kepandaianmu? Lalatpun tidak akan mati kautampar, dan kau bilang mau mengambil aku sebagai murid?”

“Eh, apa engkau buta? Bocah bodoh, lihatlah baik-baik!”

Kakek itu lalu menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu. Baruklinting terbelalak memandang dengan kaget karena ternyata batu itu telah hancur lebur dan batang pohon itu tumbang. Pukulan-pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak berakibat apa-apa tadi ternyata telah meremukkan batu dan mematahkan pohon di bagian dalamnya, padahal permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah.

Dia tidak dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol ini, hanya dia tahu bahwa kakek ini hebat. Kalau dia dapat terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Lagipula , biarpun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kakeknya, namun yang dipelajarinya baru teorinya saja, karena kakeknya agaknya sudah dapat menduga bahwa dia akan meninggal dunia tak lama lagi, maka semua ilmunya diturunkan kepada Baruklinting secara tergesa-gesa.

“Bagaimana? Kau masih memandang rendah kepadaku?” ki Ageng Kaladite bertanya ketika melihat anak itu bengong saja.



“Aku... aku …suka belajar silat kepadamu, kakek yang budiman,  tetapi aku tidak tahu apakah aku mau menjadi muridmu...?”

Mendengar anak itu kini menyebutnya kakek yang budiman, ki Ageng Kaladite tersenyum dan diapun berkata, “Akupun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dulu, seperti orang hendak membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kitapun saling coba, kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid.”

Baruklinting tidak dapat menolak lagi. Memang dia tidak ingin kembali ke Gunung Merbabu setelah kakeknya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi? Keluarga Sarayuda telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Sarageni dan Endang Widuri. Dulu, ketika dia meninggalkan desa Prambanan, dia masih mempunyai tujuan, yaitu mencari ayah kandungnya di Gunung Merbabu. Kini, setelah melihat ayah kandungnya mempunyai isteri lain dan tidak suka kepadanya sungguhpun belum tahu bahwa dia adalah puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai tujuan.

“Baik, saya mau ikut kakek yang budiman,” katanya.

Ki  Ageng Kaladite girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Baruklinting lalu dibawanya lari lagi seperti terbang. Dan karena kakek cebol ini hendak memamerkan kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya kepadanya itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Baruklinting terpaksa memejamkan mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas awan, kadang-kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum kepada kakek yang benar-benar sakti ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline