Ki Jangkung vs Sultan Agung Mataram
Ki Jangkung sudah bertemu dengan isteri dan anaknya, betapa gembira rasa hatinya yang dirindukan beberapa bulan lamanya, namung takdir menghendaki lain. Tiga hari kemudian isterinya sakit mendadak dan meninggal dunia, sedangkan raden Mukmin baru berusia 17 bulan. Jenazah isterinya sudah dimakamkan dengan baik. Sultan Cirebon, keudian minta kepada Ki Jangkung, bahwa raden Mukmin akan dirawat kakek dan neneknya.
Setelah tujuh hari kematian isterinya, Ki Jangkung meninggalkan kasultanan Cirebon, perjalanannya hanya berbekal beruk dan tempurung kelapa saja.
Tidak diceritakan lamanya perjalanannya, telah sampai di Kadipaten Kendal, kemudian menuju ke arah selatan melewati desa Prebuan. Disitu kemudian membuka hutan untuk tempat tinggal. Lambat laun kawasan itu menjadi ramai, penghuninya bertambah. Untuk mengenang namanya maka perkampungan itu dinamakan desa Landhoh. Setelah penduduk bertambah banyak kemudian ki Jangkung mendirikan sebuah surau panggrok [terbuat dari bambu, seperti gardu pos kamling].
Namun Ki Jangkung masih teringat pada isterinya saja, pada tengah malam meninggalkan Desa Landhoh ke arah timur dan sampai di pesisir selatan turut wilayah Mataram.
Ki Jangkung membuat pemukiman disitu, dan diberi nama Landhoh juga. Bahkan perkampungan ini berkembang lebih pesat ketimbang yang di hutan Prebuan. Dua tahun lamanya tinggal di desa Landhoh pesisir selatan, selanjutnya ki Jangkung berjalan ke arah timur sampai di rawa Lo gung.
Ki Jangkung membuat gethek dan digunakan untuk tidur kalau malam hari, jika siang hari berlindung di hutan. Badannya sudah tidak dihiraukan lagi, di tubuhnya banyak lintah dan pacet yang menempel, menghisap darahnya, namun semuanya tidak diusiknya.
Sudah ada lima belas bulan lamanya ki Jangkung hidup di tengah hutan bersama binatang yang ada disitu. Pada suatu hari, Ki Jangkung ingin mencoba kesaktiannya dengan menggunakan pengaruhnya memanggil semua binatang yang ada di dalam hutan. Dan para binatang itu diperintahkan untuk bertarung satu persatu. Semua dari masing-masing komunitas bertarung. Suasana di dalam hutan menjadi heboh.
Kejadian ini tidak luput dari pangamatan mata Ki Mantri Krapyak nayaka pengawas Kehutanan wilayah Mataram, dan tentu saja kejadian tersebut dilaporkan kepada Sultan Agung di Mataram.
Dua orang gandek diutus untuk memanggil ki Jangkung, agar menghadap Sultan Agung, di Sitinggil, jika membangkang, maka pancung kepalanya.
Ke dua utusan mencari di tempat biasanya ki jangkung bermain, ternyata kosong, yang ada hanyalah sebuah rakit [gethek] yang tertambat di tepi rawa. Ke dua utusan karena tidak menemukan orang yang di cari, tidak berani pulang ke Mataram, sudah lima hari lima malam tinggal di hutan itu, dan hanya menunggu rakit di tepi rawa.
Sudah sepekan lamanya dan tak berhasil menemui ki Jangkung, maka ke dua utusan kembali ke Mataram, semuanya dilaporkan kepada kanjeng Sultan.
Padahal ketika ke dua utusan itu pergi meninggalkan hutan, ki Jangkung sedang mengadu semua binatang di dalam hutan, harimau melawan harimau, menjangan melawan menjangan, kera melawan kera, ular dan semua binatang di dalam hutan saling berebut kekuatan untuk mencari pengaruh siapa yang paling unggul.
Itulah gambaran manusia yang dalam hidupnya saling berebut kekuasaan untuk mencari makan, mereka saling menjatuhkan, saling melukai dan tidak mempedulikan lagi kasih sayang. Keserakahan nampak ketika yang kuat itu menang, yang menang semakin berpengaruh dalam komunitasnya
Sing hari itu, kebetulan matri Krapyak melihat ki Jangkung di tengah hutan sedang menyaksikan binatang yang sedang bertarung. Segera bergegas meninggalkan hutan, dan melaporkan kepada Sultan Mataram.
Di Sitinggil, sultan Agung sedang memberikan perintah kepada para nayaka praja, juga patih Danureja. Tanpa di panggil mantri Krapyak menghadap Sultan dan melaporkan semua yang dilihatnya di rawa Lo gung.
Sultan Agung memerintahkan pada patih Danureja untu menghukum mati orang yang pamer kesaktian di Rawa Krapyak, kalau orang itu menurut, maka agar dibawa menghadap ke Mataram.
Ki Patih segera menjalankan perintah, kemudian dengan membawa 500 prajurit untuk mengepung rawa Lo gung di Krapyak. Ki Patih tidak melihat sesuatu di tepi rawa Lo gung, kemudian mengucapkan salam, dan ki Jangkung menampakkan diri sudah duduk di rakit yang ada di tepi rawa.
Kemudian Ki Patih mendekat ke rakit, dan ki Jangkung menyambut nya, setelah berjabat tangan, Ki Patih menyampaikan maksudnya. Singkat cerita ki Jangkung bersedia menghadap Sultan Mataram.
Sampai di Mataram tidak langsung dibawa menghadap Sultan tetapi singgah di rumah ki Patih Danureja, kemudian Ki Jangkung diberi ganti pakaian baru, dan juga di sambut dengan hidangan yang meriah. Sementara itu, Ki Patih mengutus pangalasan untuk menyampaikan informasi ini kepada Sultan, dan Sultan Agung menjawab, bersedia menemui secara pribadi empat mata.
Setelah selesai ki Patih menjamu tamunya, kemudian diantarkan untuk menemui Sultan Mataram. Di Sitinggil itu hanya berdua, Sultan Agung ing Mataram dengan ki Jangkung, keduanya berdebat tentang spiritual, kawruh sangkan paraning dumadi, masing-masing menunjukkan kesaktian dan ulah kanuragannya. Dan sultan Agung merasa senang karena mendapat sparing partner yang berbobot.
Karena hati sang Prabu sangat gembira, kemudian memerintahkan kepada patih Danureja, bahwa ki jangkung akan mendapatkan rabi triman dinikahkan dengan kakak kandung Sultan Agung yang bernama Dyah Ayu Retna Jinoli.
Upacara pernikahan di adakan di kepatihan. Pahargyan wiwaha panganten dilaksanakan tujuh hari tujuh malam, dengan pesta pernikahan yang luar biasa meriah. Hiburan, bermacam-macam, wayang kulit, tari bedhaya, gambyong, tayub, jathilan dan semua kesenian yang ada di Mataram di tampilkan semua.
[ada lanjutannya ke 7]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H