Lihat ke Halaman Asli

Lulang Kebo Landhoh [4]

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ki Jangkung di Cirebon

Telah tujuh hari lamanya ki Jangkung meninggalkan isterinya yang sedang hamil tua. Pada  sore hari Kamis,  sang Retna Adilinuwih istri ki Jangkung melahirkan jabang bayi perempuan. Sultan Palembang setelah mendengar informasinya bahwa putrinya melahirkan, hatinya sangat gembira karena mendapat cucu yang selama ini sangat dinanti-nantikannya, kemudian beliau berbegas menjenguk putrinya di Kadipaten Palembang  Selatan. Betapa terkejut ketika sampai di rumah anaknya, tidak disambut oleh menantunya.

“Anakku, cucuku  lahir laki-laki atau perempuan?”

“perempuan, ayahanda Sultan”

“Dimana, suamimu?”

“sudah tujuh hari ini pergi ayahanda, pada malam hari ketika aku terlelap!”

“perginya, kemana?”

“putrinda , tidak tahu”

“apakah sudah di azankan?”

“belum, rama prabu”

Sultan Palembangmendekat ke jabang bayi, dan mulutnya menempel di telinga kanannya, kemudian  mengazankannya.

“baiklah, karena suamimu tidak ada ditempat, maka anakmu aku beri nama Rara Sunthi!”

“terima kasih ayahanda Prabu”

***

Tubuh ki Jangkung yang terapung terombang ambing dibawa ombak, akhirnya terdampar di Kasultanan Cirebon. Sudah ada satu tahun lamanya  ki Jangkung berada di tepi pantai,  makan dan minum tidak diharaukan lagi. Makan seadanya yang di dapat dari hutan sebelah, minum pun dari air sendang.  Kalau  matahari terbenam hingga pagi tubuhnya direndam dalam air laut, jika matahari terbit hingga sore berjemur di gisik.

Alkisah, Sultan Cirebon yang sedang memprihatinkan keadaan rakyatnya, yang kena serangan penyakit aneh.. Sudah tujuh hari tujuh malam Sang Sultan jarang makan dan tidur dan mengurung diri di dalam kamarnya.

Dalam mimpinya Sultan Cirebon bertemu dengan seseorang yang tua renta, kakek itu mengatakan, bahwa yang mampu untuk menyembuhkan penyakit rakyatnya adalah seorang fakir yang ada di tepi pantai.

Kemudian pada pagi harinya, Sultan Cirebon memanggil dua orang gandhek, untuk mencari orang seperti yang disebutkan dalam mimpinya. Setelah dapat menemukan orang yang ciri-cirinya seperti yang dikehendaki oleh Sultan, maka orang tadi dibawa untuk menghadap Sultan .

“siapakah nama, kisanak” tanya Sultan Cirebon, setelah ki Jangkung  duduk dihadapannya.

“ nama hamba, Jangkung”

“ Dari mana dan akan kemana sera apa sebabnya kisanak bermukim di tepi pantai?”

“ hamba dari desa Miyana Kadipaten Pati Pasantenan, tujuan hamba hanya mengikuti gerak hati, menjalani takdir!”

“ begini kisanak, aku minta bantuanmu, supaya kisanak mau menyembuhkan untuk rakyatku yang sedang kena serangan penyakit yang aneh! “

“ hamba, kalau menyembuhkan tidak bisa, karena bukan tabib !” jawab ki Jangkung.

“maksudku,  panjatkanlah doa, dan  kami minta kesembuhan mereka!” balas Sultan.

“kalau berdoa dan mendoakan hamba sanggup, tentang berhasil dan tidaknya bukan wewenang hamba!”

“ya ya, aku mengerti”

Kemudian ki Jangkung minta disediakan air putih satu gentong, dan mulailah ki jangkung berdoa di depan gentong yang telah diisi air penuh. Setelah acara ritual selesai, tiap orang yang sakit supaya minum air tersebut.

Tiap-tiap yang datang ke situ diberi air segelas, sesampainya dirumah air dituang ke dalam gentong dan agar diberikan kepada tetangganya. Demikian secara estafet, seluruh rakyat di negeri Cirebon, mendapatkan air dan melalui perantaan air itu, tiap-tiap yang menderita sakit mendapatkan kesembuhan.

Sultan Cirebon, merasa tenang dan gembira bahwa kini rakyatnya telah sembuh, kemudian ki Jangkung dinobatkan menjadi menantu Sultan Cirebon, menikah dengan putrinya yang bernama dyah Pandanarum.

Beberapa bulan kemudian dyah Pandanarum hamil, dan semakin menambah kegembiraan Sultan Cirebon yang selama ini mengharapkan kehadiran seorang cucu. Sepuluh bulan kemudian telah lahir seorang putra, yang sehat dan berwajah elok, kemudian diberi nama Raden Mukmin.

Tujuh hari telah berlalu, pusarnya telah tanggal, dan menurut tradisi dilakukan upacara ritual potong rambut.

Di pendapa Kasultanan Cirebon malam itu sungguh ramai,  keluarga dan sentana praja turut hadir. Acara dipimpin oleh kyai Modin, upacara ditandai dengan memotong rambut sang Bayi dengan diringi ramainya suara rebana.

Acara telah selesai, semua yang hadir, pulang sambil membawa berkat kenduri.

[ada lanjutannya ke 5 ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline