Lihat ke Halaman Asli

Lulang Kebo Landhoh [3]

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama 40 hari 40 malam, ki Jangkung berada di dalam goa yang ada di tepi pantai Jepara, tidak makan dan tidak minum. Pada malam yang ke empat puluh itu, ki Jangkung mendapat bisikan, agar menuju ke barat di kerajaan Palembang.

Pagi harinya, ki Jangkung terjun kelaut dengan membawa dua buah kelapa kering sebagai pelampungnya. Bagaikan tidur diatas dipan saja, dia terapung-apung  terbawa ombak dan mengikuti alur angin. Jika angin dari timur terdorong ombak kebarat, angin dari utara terdorong ke selatan dan seterusnya.

Ada tiga bulan lamanya ki Jangkung mematikan rasa dan raganya, bagaikan sampah kering terapung di lautan bebas. Tubuhnya tidak terombang ambing oleh ombak lagi, karena tersangkut pada pohon bakau di tepi pantai Palembang.

Ketika membuka matanya, matahari sudah sepenggalah. Ki JAngkung bergegas menyusuri pantai dan mendekati seorang nelayan yang sedang mempersiapkan diri  melaut.

“kisanak, ini negeri apa namanya?” ki Jangkung tubuhnya semakin kurus, namun aura di wajah bersinar kuat, pandang matanya seperti elang, menakutkan.

“ini negeri Palembang, kisanak dari mana?” tanya si nelayan.

“aku tidak tahu, datang darimana, hanya mengikuti angin dan air yang mengalir saja!” jawab ki jangkung sekenanya saja.

Si Nelayan tadi tidak menghiraukan lagi pada ki Jangkung, dan mendorong perahunya ke tengah laut. Ki Jangkung melanjutkan perjalanannya, menuju ke istana Sultan Palembang.

Pada malam hari itu, tak seorangpun yang melihatnya. Ki Jangkung kemudian bersembunyi di dalam jumbleng. Bau tinja sudah terhirup wangi, tinja pun sudah seperti permadani, selama tiga bulan lamanya di dalam septi tank itu tidak makan dan tidak minum, seluruh rasa dan raga  sudah diracut, ki Jangkung tidak merasa terikat oleh ruang. Seluruh pancainderanya telah dirucat, semuanya menjadi terbalik.

Syahdan pada musim kemarau panjang, tanah  menjadi kering berdebu, pepohonan daunnya berguguran. Di negeri Palembang sedang dilanda penyakit yang aneh, pageblug ; pagi sakit sore meninggal, sore sakit pagi meninggal.

Sultan Palembang beberapa hari ini murung, karena tabab kasultanan tidak mampu berbuat banyak. Satu-satunya jalan hanya mendekat kepada sang Pencipta.

Pada pagi hari itu, kebetulan seorang dayang sedang ke WC, ketika sedang membuka kain, si dayang melihat sesosok manusia yang berendam di dalam jumbleng, sambil tersenyum. Si Dayang urung dan membatalkan niatnya BAB dan melaporkan kejadian ini pada Sultan Palembang.

Perintah Sultan agar satu peleton prajurit mengepung jumbleng tersebut, dan mengambil orang yang ada di dalam jumbleng . setelah ki Jangkung berhasil diangkat keluar, Sultan Palembang menyuruh untuk membersihkan tubuh orang itu.

Selanjutnya  diberi ganti pakaian yang baru. Setelah berpakaian rapi ki Jangkung dibawa menghadap kepada Sultan, namun ki Jangkung tetap membawa dua buah kelapa keringnya itu.

“siapakah namamu, kisanak, darimana asalmu, dan apa sebabnya kau masuk kedalam septitank di kasultanan ini, sehingga membuat ketakutan orang yang akan buang hajatnya!”

“hamba datang dari tanah Jawa, tuanku,  hamba bernama Jangkung dari desa Miyana kadipaten Pati Pasantenan!” jawab Ki Jangkung.

“apa maksudmu bersembunyi di dalam jumbleng istana, apa kau sedang melakukan kegiatan spionase, memata-mati aku sebagai penguasa di Palembang ini, ingat bahwa hukumannya berat, yakni dihukum pancung!”

“hamba hanya berserah diri, tuanku!” jawab Ki Jangkung pelan.

Kemudian  penasehat Istana Palembang memberikan sembah, dan berkata” tuanku yang mulia, negeri kita sedang tertimpa musibah, hamba melihat bahwa orang ini memiliki kelebihan yang tidak dimiliki manusia  pada umumnya, mohon ampuni orang ini, mintalah paduka, agar orang ini membantu untuk mengatasi cobaan di negeri Palembang ini!”

“baiklah, nasehat anda aku terima. Wahai Jangkung, aku minta pengabdianmu untuk membantu meringakan beban negeri kami ini, yang sedang dilanda penyakit aneh, kalau kau berhasil menyembuhkan rakyatku maka kuampuni kau!”

“hamba bersedia melakukan permintaan paduka, tetapi tentang berhasil dan tidaknya bukan tanggung jawab saya, sebab hanya yang diatas yang menentukan!” jawab ki Jangkung.

Pisowanan di kasultanan telah di bubabarkan, adalah di tengah malam, ki Jangkung sedang duduk tafakur di dalam masjid istana Kasultanan Palembang, berdzikir dengan memohon kepada Yang Maha Pengasih, agar penyakit yang  melanda rakyat Palembang segera, bisa segera hilang, dan rakyatnya diberi kesembuhan.

Setelah sholat subuh ki Jangkung meninggalkan masjid, penduduk di Palembang sudah sehat seperti sedia kala, dan kejadian  yang tak terduga ini dilaporkan kepada baginda Sultan.

Kemudian pagi itu juga diadakan sidang luar biasa yang dihadiri segenap pejabat tinggi Kasultanan Palembang.”karena ternyata rakyatku telah sehat seperti sediakala, maka janjiku pada waktu itu harus kutepati, yaitu  siapapun yang mampu menyembuhkan rakyatku, akan aku beri hadiah putriku, dan setengah wilayah Kasultanan Palembang !”

Segenap yang hadir menganggukkan kepala. Kemudian ki Jangkung  segera dinikahkan dengan sang putri Sultan Palembang yaitu Retna Adilinuwih,  sang dewi yang berparas elok berkulit kuning, tinggi semampai, rambutnya hingga terurai  ke paha. Pesta pernikahan tujuh hari tujuh malam, berbagai lapisan masyarakat mendapatkan undangan untuk menghadirinya, bahkan tamu dari negeri lain juga ikut hadir.

Pada kesempatan tersebut juga melantik Ki Jangkung menjadi Adipati di Palembang Selatan, sesuai janji Sultan. Kini Adipati Jangkung memerintah di negeri Palembang Selatan, namun dalam setiap pisowanan, kedua kelapa kering itu tidak pernah  jauh darinya.

Kira-kira  satu tahun lebih beberapa hari, Adipati Jangkung merasa tidak betah memegang  tampuk kekuasaan. Kemudian menghadap sultan Palembang  dan menyerahkan kembali separoh wilayah negeri Palembang, dan ki Jangkung akan melanjutkan lelaku-nya. adapunSultan Palembang tidak menyetujui permintannya itu.

Pada malam harinya, ki Jangkung berpamitan pada isiterinya untuk melanjutkan riyadhohnya sampai waktu  tertentu, sang putri  meskipun dengan hati yang berat, namun mengijinkan suaminya menjalani lelaku.

Lewat tengah malam ki Jangkung dengan membawa dua buah kelapa kering, lolos dari gedung Kadipaten berlari menuju ke pantai. Dan terjun ke laut sambil  berpegang pada pelampung  kelapa itu…

[ada lanjutannya]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline