Lihat ke Halaman Asli

Pemberontakan Sutawijaya [9]

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sultan Pajang di bunuh makhluk halus


Sutawijaya  dengan empat puluh pengawalnya dari pasukan khusus yang selama ini mengikuti dari kejauhan perjalanan Sultan Hadiwijaya, ternyata ketika Sultan Hadiwijaya memasuki gerbang istana kasultanan Pajang, Sutawijaya menghentikan langkahnya. Keempat puluh pasukan pengawalnya juga berhenti, namun membentuk barisan sebar lebar.

Keberadaan Sutawijaya telah diketahui oleh komandan pasukan sandiyuda dari Kasultanan Pajang, dan tumenggung Suraketu telah  memberi tugas kepada bawahannya untuk selalu mengawasi dan mengikuti secara diam-diam kemana pun Sutawijaya bergerak.

Setelah rombongan pengawal; Sultan Hadiwijaya sudah memasuki halaman kamandungan, Sutawijaya beserta 40 orang pengawalnya melanjutkan perjalanannya ke arah desa Laweyan, tempat persembunyian adiknya Mayang yang telah dicopot dari jabatan Tumenggung, yang kini telah menjadi rakyat biasa.

***


Sultan Pajang menerima laporan
dari Komandan pasukan sandi, bahwa Senapati ing Ngalaga tidak singgah di Pajang, tetapi justru melanjutkan perjalanannya untuk menemui saudaranya di desa Laweyan.“ini sungguh keterlaluan!” kata Sultan Pajang dengan geram.

Kemudian Sultan Pajang mengutus Tumenggung Suraketu untuk memanggil Senapati masuk ke dalam istana.

Tumenggung Suraketu kemudian memerintahkan kepada Wimbasara untuk menemui Senapati ing Ngalaga yang ada di desa Laweyan, menyampaikan perintah Kanjeng Sultan, untuk menghadap di istana.

Beberapa saat kemudian Wimbasara telah berhasil menemukan  Senapati , yang sedang singgah ditempat adiknya, mantan Direktur Intelijen Kasultanan Pajang.

Senapati; “ ada keperluan apa mengikutiku ke sini?”

Wimbasara; "jengandika tinimbalan mring kadhatun, dening ramanta nJeng Sultan!"(kanjeng Senapati, paduka diminta untuk menghadap di istana oleh baginda Sultan) katanya pelan dan sambil bersembah.

Senapati; "heh dhuta sira matura mring njeng Rama, lenggana ulun iki amit mulih nging ton mantuk angantos karsaning hywang" (wahai utusan, katakanlah pada ayahanda, aku menyadari bahwa sebenarnya sudah pamit meninggalkan Pajang, tetapi menunggu kehendak Hyang Widhi).

Wimbasara yang diutus untuk mengajak Senapati menghadap di istana, justru menyuruh Wimbasara, agar meninggalkan desa Laweyan dan melaporkan kepada Sultan bahwa Senapati minta maaf karena sudah berpamitan meninggalkan Pajang, tetapi menunggu waktu atas kehendak dari Yang Maha Kuasa.

Setelah Sultan Hadiwijaya mendengar laporan Wimbasara, dalam hati mengatakan; "terlalu berani anak ini, kini sudah tidak menghormatiku lagi!".

***

Dalam pada itu yang sedang singgah di desa Laweyan, ketika larut malam mendengar kokok ayam pertama, udara semakin dingin, menjadi hening, suara cengkerik, gangsir dan orong-orong yang memecah kesunyian malam.

Senapati ing Ngalaga keluar dari rumah, kemudian berdiri di tengah halaman dan tak seorangpun yang melihatnya, kemudian duduk bersila dan menggunakan mantram aji pameling untuk memanggil ki Juru Taman. Seperti diketahui bahwa ki Juru taman adalah kepercayaan Penguasa Laut Selatan yang ditugasi untuk mengawal kemanapun Senapati berada. Karena ki Juru Taman itu bukan jenis manusia, tentu hanya Senapati maupun ki Juru Martani saja , yang bisa melihat maupun berkomunikasi dengannya.

Mendengar panggilan Senapati,datanglah Juru taman menghadap, setelah memberikan sembah kemudian menundukkan badannya yang sebesar bukit itu, tengkurap di depan Danang Sutawijaya.

"adhuh Gusti manawi darbe karsi angrabasèng rama Prabu, kawula kang lumampah, pejah gesang kawula katur sang Ulun panduka akantuna Wirya " (tuanku, jika menginginkan untuk menghancurkan ayahanda Sultan Pajang, maka hambalah yang akan melaksanakannya, mati hidupku sudah aku baktikan kepada tuanku, dan tuan silakan duduk manis saja).

"Ki Juru taman sun tarima prasetyamu marang ingsun, sayekti ingsun datan darbe kayun, apa sakarepira" (Juru Taman, aku berterima kasih, niat baikmu aku terima, tapi aku tidak punya keinginan apa-apa, terserah kamu saja).

Kemudian JuruTaman setelah memohon diri, kemudian bergerak menujuistana tempat tinggal Sultan Hadiwijaya. Bagi jenis lelembut itu hanya tahu tentang dua hal yakni kawan dan lawan. Yang menggunakan dirinya atau berpihak pada dirinya adalah kawan, dan yang tidak berpihak padanya dianggap lawan.

Sultan Pajang pada malam itu sedang duduk bersama istri dan putranya  yaitu Pangeran Benawa, kanjeng Sultan sedang membicarakan tentang Senapati yang sudah sampai di lingkungan istana, tidak langsung masuk ke dalam, melainkan membelok ke desa Laweyan.

Belum selesai Sultan Pajang berbicara, mendadak sang Prabu jatuh pingsan tanpa sebab,  sambil memegangi dadanya yang terasa sakit dengan nafas  yang sesak, kedua matanya melotot.Sedangkan yang ada di ruangan itu  tak dapat berbuat banyak kecuali hanya kepanikan saja. Bangsal Prabasuyasa gempar, karena kanjeng Sultan pingsan.

***

Dalam pada itu setelah Juru taman meninggalkan desa Mayang langsung menuju ke dalam istana dimana sang Prabu berada, kemudian mencekik leher Sultan Pajang sampai pingsan.

Tentu saja tidak ada yang mengetahui keberadaan Jurutaman, karena Jurutaman memang bukan golongan manusia, ia adalah orang kepercayaan ratu Kidul yang di abdikan kepada Senapati Ing Ngalaga.

Sultan Pajang keadaanya semakin menghawatirkan para putra Sentana dan istri. Keluarga dekat sahut menyahut menangis, sehingga membuat suasana bertambah mengharukan.

Tiga hari tiga malam, Senapati tinggal di desa Laweyan, kemudian meninggalkan kembali ke Mataram [ perjalanannya tidak dikisahkan].

Kemudiansetelah tiba di Mataram, segera memerintahkan kepada seluruh kerabat Mataram untuk membeli bunga telasih dan di tumpuk di jalanan menuju ke istana Kasultanan Pajang.

Kejadian yang aneh ini tentu membuat sentanadalem Kasultanan Pajang menjadi terkejut, siapa yang telah meninggal dunia. Sultan memang sakit tetapi mengapa jalan yang menuju ke Pura Pajang dipenuhi tumpukan bungan telasih?

Pangeran Benawa masuk kedalam istana dan menghadap Sultan Pajang. " Rama Sultan, putra pukulun kakang Senapati saha tiyang Mataram kinen mundhut sekar telasih tinumpuk lawang sedami " (rama Prabu, putra beliau kakang Senapati menyuruh orang-orang Mataram membeli bunga Telasih dan ditumpuk dijalanmenuju ke Istana, apa maksudnya).

Sultan Hahdiwijaya, dengan pelan menjawab;"kakangira Senapati Mataram, sanget bektiné marang ingsun, anggoné duwe wong tuwa, pratandha sih waspada kakangirèku, wruh ingsun yen meh praléna, pracihna iku gumanti "(kakakmu Senapati Mataram, itu sangat berbakti pada orang tua, ia memang waskitha, mengetahui bahwa aku hampir meninggal, dan ia akan menggantinya ).

Beberapa hari kemudian

Sultan Hadiwijaya wafat (1583 M), para putra Pangeran, kadang Sentana dan nayaka praja, gandhèk bupati lengkap hadir. Juga beberapa istri para ponggawa, Tumenggung, pecat tandha, rangga demang, dan Ngabehi menangisi kepergian Sultan Pajang.

Kemudian Pangeran Benawa, mengutus ki Patih dan beberapa Sentana dalem untuk memberitahukan kepada Senapati ing Ngalaga di Mataram, bahwa Sultan Pajang telah meninggal dunia.

"heh paman Patih lawan sira lurahing tamtama, padha sun tari ing rembag, ingsun kinen atut dhingin wewelingé rama prabu kang swarga, marang kakang senapati Mataram, pan punika kadang sepuh. Kanjeng rama wus Seda, Prayoga kakang Senapati ingaturan weruh, nadyan miyang ta miyanga kadang ingsun tuwa, yekti gegentiné kanjeng rama, ing dunungé sembah ingsun sayekti " (paman Patih beserta para komandan pasukan, aku minta kepda kalian untuk mengikuti wasiat dari Rama Prabu almarhum, untuk memberitahu kakang Senapati Mataram, betapapun ia adalah saudara tua, karena kini ramanda Prabu sudah wafat, maka sebaiknya kakang Senapati diminta hadir dalam pemakaman nanti, sebagai ganti orang tua, entah nanti berangkat atau tidak berangkat itu tidak menjadi masalah yang penting sekarang ini, kalian harus melihat bahwa mereka adalah saudaraku tertua).

Dalam pada itu ki Patih sudah sampai di Mataram dan menemui Senapati ing Ngalaga, dengan penuh rasa hormat ia berkata; "inggih amba dhinuta tur udani ing rayi paduka tuhu njeng Pangeran Benawa, ing paduka mangke, rama njeng Prabu Sultan Pajang aséda, panduka dipunaturi, ingantos anyiramana ing layoné kupu panduka Aji maksih gilang-gilang tuhu (hamba diutus oleh adik tuan, Pangeran Benawa untuk memberitahukan, bahwa saat ini ayahanda paduka Sultan Pajang telah wafat, tuan hamba ditunggu kehadirannya untuk memandikan jenazahnya).

Senapati ing Ngalaga setelah mendengar penuturan utusan dari Pajang, matanya berlinang air mata, akan menangis tetapi ditahannya, tetapi dalam hati tetap menangis, kemudian mengambil kuda dengan sekali sentak maka kuda melesat kearah Pajang.

Dalam perjalanannya tidak diceritakan, Senapati telah sampai di pura Kasultanan Pajang, setela menambatkan kudanya, segera menuju kerumah duka, di pringgitan timur.

Danang Sutawijaya langsung mendekati jenazah Sultan Hadiwijaya, dalam hati menangis tak jauh beda ketika Sultan masih hidup. Pemberian penghormatan yang terakhir dilakukan setelah memandikan jenazah, kemudian ia menyolatinya. Setelah selesai selanjutnya jenazah di kebumikan di desa Butuh.

Para pelayatpun datang dari berbagai penjuru, kemudian selama 40 hari 40 malam diadakan acara doa, yang dilakukan oleh para santri dari Kudus, Giri dan juga dari Tembayat.

surem-surem diwangkara kingkin

lwir manguswa kang layon

ilang kang memanise

wadananira layu

kumel kucem rahnya maratani

kawangwang ing gegana .. bang sumirat .... oooo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline