Lihat ke Halaman Asli

Runtuhnya Kasultanan Pajang (2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PEMBANTAIAN DI KAPUTREN PAJANG

Dua sejoli yang sedang dimabok cinta, sepertinya dunia itu hanya miliknya, bahaya yang mengancam pun tak dihiraukan kata pepatah" andaka angungas sari tan wrin baya ', pepatah ini ditujukan terhadap orangorang yang sedang asyik masyuk dalam bercinta, mereka lupa bahwa di kanan kirinya bahaya mengancam dirinya.

Sang putri kemudian menggapai tangan Raden Pabelan yang bersembah pada putri raja. Sebenarnya dalam tatakrama kerajaan, tak seorang pun dari luar puri yang tidak mendapatkan ijin masuk, tidak akan berani menginjakkan kaki di halaman puri kaputren. Karena bisa mendapatkan hukuman mati. Dalam hati Raden Pabelan juga masih was-was, tetapi karena tuan putri sudah memegang tangan nya, ini sebagai pertanda mendapatkan ijin untuk masuk ke dalam kaputren. Sang retna mengajaknya masuk ke bangsal kaputren, karena di luar bisa diketahui oleh penjaga.

Raden Pabelan berjalan di belakang tuan putri, karena masih kikuk dan juga takut salah, tetapi sang retna justru menarik tangan kanan raden Pabelan. Keduanya berjalan seiring, sambil membicarakan awal perkenalan, sesekali ada tawa kecil (jalan cerita, dialog dipersingkat).

Kemudian memasuki bangsal kaputren, dan pintupun ditutup. Sang putri mempersilakan duduk. Raden Pabelan kemudian berkata dengan suara yang pelan ;” hamba merasa berdebar-debar tuan putri, mohon ampun “. Dengan menunduk malu sang putri mempersilakan raden Pabelan untuk masuk kedalam puri kaputren.

Sang putri terobati sudah, selama ini yang dinanti-nantikan sudah ada di hadapannya. Keduanya terdiam beberapa saat, tak satu katapun keluar dari mulutnya, bingung bercampur gugup, karena baru pertama kali. Meski dalam surat menyurat, sudah berkali-kali berbicara macammacam, namun ketika berhadapan langsung, serasa mati kutu.

Sang putri sudah menyadari bahwa pada waktu malam hari, pintu puri kaputren tidak boleh dibuka, maka segera tersadar dan segera mempersilah raden Pabelan untuk masuk ke bangsal kaputren. Orang-orang yang ada di dalam puri kaputren sudah tidur semua, adapun sang retna Murtèningrum, karena sejak pagi sudah memberi surat pada Raden Pabelan, maka ia siap menanti kedatangannya, tidak ada rasa kantuk, bahkan badannya menjadi semakin bugar karena semangat untuk bertemu dengan orang yang didambakannya.

boten nedya awak ulun, kamipurun sang Kusuma ayu, mirah kawula ratu Mas, kang abdi ngèstupada ingaras kusumaningrum” (bukan maksud hamba tuan putri untuk kurangajar pada tuan putri, hamba menghaturkan sembah dan ingin mencium kaki paduka).

Raden Pabelan melancarkan rayuannya seraya mendekap pergelangan kaki sang putri dan akan mencium punggung kakinya. Tetapi sang Retna mencegah Raden Pabelan melakukan sembah layaknya seorang hamba mencium kaki sang putri Raja.

Pertemuan malam itu menjadi semakin akrab, dan Pabelan semakin berani memegang tangan tuan putri dan mencium punggung tangannya, kemudian memandangi wajah sang putri sambil bertanya “ tuan putri kira-kira ada yang tahu apa tidak, hamba berada di dalam kaputren ini ?”

Tuan putri tidak menjawab, tetapi mencubit paha raden Pabelan. Raden Pabelan dalam hal membaca pikiran wanita sudah lebih berpengalaman, melihat gelagat tuan putri yang sudah semakin berani, ini memberikan isyarat sang retna sudah menyerah. Segera sang putri, dirangkul dan dipapahnya kedalam krobongan, sambil menciumi wajah, kening, leher juga telinga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline