GATUTKACA GUGAT
Dunia pewayangan gempar. Gatutkaca keranjingan naik pesawat terbang. Akibatnya para dewa murka. Mereka menuduh Gatutkaca merusak pakem kahyangan. Demonstrasi pun berlangsung di mana-mana. Dewa-dewa menuntut Gatutkaca secepatnya diadili. Berbagai spanduk berisi hujatan digelar. Isinya macam-macam. Ada yang menuduh Gatutkaca ingin merongrong kewibawaan dewa-dewa, ada yang berisi sindiran Gatutkaca lupa diri setelah menjadi raja, malah ada spanduk berisi tudingan Gatutkaca antek negara asing.
Sementara itu, di Kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru yang bijaksana duduk di singgasana sambil memijat-mijat keningnya. Migrainnya kambuh mendengar teriakan dewa-dewa di halaman istana. Batara Guru memahami benar karmapala Gatutkaca. Saat Perang Baratayuda di Kurusetra nanti, si urat kawat tulang besi itu ditakdirkan mati terpanah senjata Konta milik Adipati Karna. Tapi bagaimana hal itu bisa terjadi, jika Gatutkaca lebih senang naik pesawat terbang?Batara Guru menarik nafas panjang. Wajahnya kemerahan. Migrainnya tambah parah. Darah tingginya pasti sedang kumat.
***
Di Kerajaan Pringgandani, sebuah negeri berkabut, Gatutkaca meremas hancur surat panggilan dari Batara Guru yang memintanya datang ke pengadilan para dewa. Gatutkaca merasa gusar dan benar-benar marah. Matanya mendelik. Giginya gemeretak. Dia tahu lambat laun dirinya pasti akan ditumbalkan demi menggenapi skenario dewata.
Dia merasa diperlakukan tidak adil. Tokoh-tokoh wayang seperti dirinya dipaksa hidup di masa lalu dan tidak boleh menikmati kesenangan masa kini. Semua yang serba modern dilarang. Dia hanya bisa menonton sendratari di pendopo istana, padahal ingin sekali dia menyaksikan konser-konser musik kelas dunia. Dia dilarang keras menonton televisi, mendengar radio, diharamkan pergi ke bioskop, naik mobil, motor, bahkan naik sepeda pun tidak boleh. Ke mana-mana dia harus jalan kaki atau terbang.
Padahal sejak lama Gatutkaca ingin menanggalkan kotang Antrakusuma dan caping Basunanda yang dapat membuatnya terbang tanpa sayap dan tak akan kebasahan bila hujan. Barang-barang itu dirasanya sudah ketinggalan zaman. Lagipula terbang dengan kotang membuat dia pegal dan masuk angin. Dia bosan minum jamu pegal linu setiap kali turun dari angkasa. Punggungnya saja sampai lecet-lecet akibat keseringan kerokan.
Lalu apa urusan dirinya dengan Kurawa? Tiba-tiba saja dia disuruh membunuhi Kurawa di Kurusetra. Dan yang lebih tidak mengenakkan, sudah capek-capek perang, dirinya harus mati pula karena senjata Konta. Kalau boleh memilih, Gatutkaca ingin berdamai saja dengan Kurawa, toh mereka bersaudara. Maka Gatutkaca bertekad akan melawan takdir. Keran kebebasan akan dibuka. Rakyat boleh memiliki apa saja yang mereka suka. Mau punya motor atau mobil ya silahkan saja, mau bisnis apa saja juga boleh. Mau jadi dokter, insinyur, polisi, tukang palak, debt collector, terserahlah yang penting jangan ngusilin sang raja.
Besoknya, Gatutkaca juga muncul dengan penampilan baru: Setelan jas, lengkap dengan dasi. Sebuah tas koper menemani kemana pun dia pergi. Gatutkaca tak lagi terlihat seperti seorang kesatria, dia lebih mirip eksekutif perkantoran, dan memang dia berencana untuk terjun dalam bisnis penerbangan. Pengalaman ribuan tahun sebagai penerbang andalan Pandawa, membuatnya yakin dapat sukses di bisnis tersebut.
Dalam beberapa tahun saja, Gatutkaca menjelma jadi pengusaha sukses. Penghasilan sebagai pengusaha melebihi pendapatannya sebagai raja. Sekarang dia hidup mewah bergelimangan harta. Namun di tengah kesuksesannya, Gatutkaca selalu merasa hampa dan gelisah. Nalurinya sebagai penerbang ternyata tidak bisa hilang. Dia ingin membeli pesawat terbang pribadi dan menerbangkannya dengan tangannya sendiri. Maka dia pun membeli sebuah pesawat berukuran tambun.
“Wajar dong seorang raja memiliki pesawat pribadi? Apalagi ukuran pesawat itu sesuai dengan besar badan beliau. Lagipula punya pesawat sendiri lebih hemat lho ketimbang menyewa,” ujar juru bicara keistanaan ketika ditanya wartawan.