Lihat ke Halaman Asli

Sasotya Pratama

Dosen pada suatu international business school

Konektivitas Sistem Pembayaran di ASEAN, Suatu Utopia?

Diperbarui: 20 Juni 2023   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Bayangkan kita sedang berjalan-jalan di Kuala Lumpur ataupun di Singapura. Jika kita kemudian nongkrong di warung-warung kaki lima di kota-kota tersebut dan ingin membeli jajanan maupun suvenir murah, apakah kita bisa membayarnya dengan rupiah? Jawabannya adalah tidak.  Kita harus menukarkan mata uang rupiah kita menjadi dollar Singapura ataupun menjadi ringgit Malaysia untuk membayar belanjaan kita tersebut. Padahal, pembayaran menggunakan rupiah tak pelak lagi akan memudahkan para pelancong Indonesia untuk bertransaksi. Demikian juga, hal yang sama juga terjadi di Jakarta ataupun kota-kota lain di Indonesia. Para wisman yang berasal dari berbagai negara harus menukarkan uang mereka menjadi rupiah sebelum mereka berbelanja rawon, lemang, bika ambon, maupun gudeg di lapak-lapak kaki lima di seluruh Indonesia.

Jika kita hidup pada suatu kawasan regional, misalnya wilayah ASEAN, adanya suatu mata uang tunggal akan memudahkan semua transaksi yang dilakukan oleh pembelanja dan penjual antar negara yang bertetangga. Sebagai suatu perbandingan, di kawasan Eropa pada saat ini telah ada mata uang Euro yang dipakai sebagai alat tukar yang sah di 23 negara Eropa, yaitu 18 negara yang telah tergabung dalam European Union dan 5 negara diluar negara-negara anggota European Union. Penerapan sistem mata uang tunggal di suatu wilayah regional memberikan beberapa manfaat dan sering kali diupayakan demi tercapainya integrasi ekonomi pada kawasan tersebut. Manfaat sistem mata uang tunggal antara lain adalah memfasilitasi perdagangan, mendorong koordinasi demi tercapainya stabilitas harga, peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi serta tercapainya integrasi ekonomi dan politik. Namun demikian, keputusan untuk mengadopsi mata uang tunggal bersifat spesifik dalam konteks tertentu dan bergantung pada berbagai faktor, termasuk karakteristik spesifik dari wilayah tersebut, tujuan integrasi ekonomi, dan kemauan negara-negara anggota untuk mengatasi tantangan dan mengupayakan kerja sama moneter yang lebih erat.

Dalam semangat kebersamaan dan tekad mewujudkan penyatuan Kawasan ASEAN, Bank Indonesia (BI) telah menjalin kerja sama dengan Bank Negara Malaysia (BNM), Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), Monetary Authority of Singapore (MAS), dan Bank of Thailand (BOT) dalam melakukan eksplorasi potensi konektivitas sistem pembayaran berbasis fast payment di kawasan ASEAN. Kelima bank sentral tersebut menggandeng Bank for International Settlements (BIS) dalam mengeksplorasi potensi konektivitas sistem pembayaran berbasis fast payment di kawasan ASEAN melalui pelaksanaan suatu proyek yang disebut sebagai Proyek Nexus. Kerja sama tersebut merupakan salah satu implementasi dari Nota Kesepahaman (NK) Kerja Sama Konektivitas Pembayaran Kawasan yang ditandatangani pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada bulan November 2022, dan salah satu agenda prioritas jalur keuangan Keketuaan Indonesia pada ASEAN 2023. Konektivitas sistem pembayaran memang dapat dilihat sebagai solusi sementara atau batu loncatan menuju mata uang tunggal. Konektivitas tersebut dapat memfasilitasi integrasi ekonomi dan mengatasi beberapa tantangan yang terkait dengan penerapan sistem mata uang tunggal.

Proyek Nexus dapat dipandang sebagai suatu langkah strategis menuju suatu penyatuan sistem pembayaran di kawasan ASEAN. Hal itu mengingat pesatnya kemajuan teknologi yang telah memunculkan banyak konektivitas sistem pembayaran berbasis digital maupun cryptocurrency. Sistem pembayaran berbasis digital seperti Paypal misalnya, secara inheren telah memberikan layanan konektivitas karena bisa dipakai dimanapun selama terdapat jaringan Internet. Jika tidak segera terimplementasi, konektivitas sistem pembayaran regional berbasis fast payment yang diupayakan Bank Indonesia melalui proyek Nexus akan menjadi tertinggal karena sistem pembayaran digital a la Paypal telah marak dan menguasai pasar.

Kalau kita tengok kiprahnya, Bank Indonesia selama ini juga telah memainkan peran yang penting dalam pengembangan solusi teknologi keuangan yang inovatif di dalam negeri. Pembayaran yang kita lakukan menggunakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) merupakan solusi yang diperkenalkan oleh Bank Indonesia. QRIS memungkinkan para pelaku usaha dan konsumen melakukan transaksi dengan mudah melalui aplikasi pembayaran digital yang sesuai dengan standar QRIS. Bank Indonesia juga telah menggandeng bank sentral negara-negara jiran untuk menyepakati kerja sama pembayaran berbasis QR Code lintas negara (cross-border QR payment linkage). Telah disepakati adanya kerja sama pembayaran berbasis QR Code lintas negara dengan bank sentral Thailand dan Singapura. Bahkan, interkoneksi pembayaran antarnegara menggunakan QR Code antara Indonesia dan Malaysia telah diuji coba pada 27 Januari 2022.

Sebagai salah satu bank sentral terkemuka di ASEAN, Bank Indonesia telah membuktikan diri dalam menginisiasi dan mengembangkan infrastruktur pembayaran yang efisien dan aman. Kita tentunya berharap agar konektivitas sistem pembayaran lintas batas di kawasan ASEAN dapat segera terimplementasi guna memfasilitasi pembayaran ritel yang kemudian akan mendorong terwujudnya transaksi yang lebih murah, mudah, aman, inklusif, dan transparan di negara-negara kawasan ASEAN. Diharapkan, sistem pembayaran lintas batas tersebut akan dapat menjangkau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), memfasilitasi remitansi bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), serta memudahkan transaksi bagi para wisatawan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline