Lihat ke Halaman Asli

Dampak Pernikahan Dini Terhadap Pola Asuh Anak

Diperbarui: 19 Mei 2023   18:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama.  Sumber ilustrasi: Kompasiana

Meningkatnya pernikahan usia muda di bawah usia 20 tahun masih menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia.Meski angka dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan dari 10,82% menjadi 10,18% dari tahun 2019 ke 2020, praktik pernikahan dini masih tinggi.

Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pernikahan dini terbanyak kedua setelah Kamboja dan menempati urutan ke-8 dunia. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat dalam Undang-Undang Perkawinan 16 Tahun 2019 pemerintah dengan jelas telah menetapkan batas minimal usia menikah yaitu 19 tahun dan memperkuat aturan perkawinan.


BKKBN menetapkan usia ideal menikah adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Dari segi kesehatan, alat kelamin wanita berusia 21 tahun secara psikologis berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan. Sementara itu, dari segi finansial, pria berusia 25 tahun ini siap menghidupi keluarganya.

Alasan pernikahan dini biasanya karena faktor budaya dan sosial ekonomi. Sebagian orang tua beranggapan bahwa anak dapat menjadi penyelamat keuangan keluarga saat menikah, karena anak yang belum menikah menjadi beban keluarga.

Ada juga yang percaya bahwa anak memiliki kehidupan yang lebih baik setelah menikah. Bahkan, putus sekolah dini memperpanjang rantai kemiskinan dan merampas hak-hak dasar anak-anak, seperti pergi ke sekolah. Efek lain dari pernikahan dini adalah merugikan perekonomian negara, hingga 1,7 persen pendapatan pemerintah bisa hilang.

Di beberapa daerah, masyarakat masih memiliki perbedaan pendapat tentang perjodohan karena faktor adat dan budaya. Orang tua masih takut anaknya tidak menikah dan menjadi perawan tua.

Anak remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual sebelum menikah. Untuk mencegahnya, banyak orang tua yang menikahkan anaknya. Untuk memprediksi terjadinya pergaulan bebas pada anak, orang tua harus memberikan wawasan tentang akibat pernikahan dini dan kesehatan reproduksi pada remaja.

Anda bisa mendapatkannya dengan bergabung di Kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR). Keunggulan BKR adalah orang tua dan anggota keluarga remaja lainnya sadar akan tahap tumbuh kembang anak dan remaja serta mampu memenuhi kebutuhannya akan pengasuhan, kasih sayang dan pengasuhan.

Demikian pula, anak-anak harus tertarik pada pengejaran dan pencapaian kreatif untuk menghindari hal-hal yang mengarah pada pernikahan dini. Anak-anak yang belum cukup umur sangat berisiko dilecehkan atau dieksploitasi setelah menikah. Remaja dapat mengikuti kegiatan di daerahnya, misalnya di Pusat Informasi dan Saran Remaja (PIKR), di mana mereka dapat memperoleh informasi tentang pernikahan dini, seks bebas dan narkoba.

Pernikahan dini memiliki implikasi multidimensi karena dapat memberikan dampak penting bagi pembangunan, terutama dalam hal kualitas dan daya saing sumber daya manusia di masa depan.

Dampak negatif pernikahan dini dirasakan baik oleh ibu maupun anak yang dilahirkan. Ada risiko besar saat melahirkan, karena kondisi fisik alat kelamin yang tidak sempurna, panggul ibu yang sempit, dan pola makan saat hamil yang tidak memadai. Konsekuensi lain dapat berupa pecahnya serviks, yang dapat menyebabkan perdarahan, preeklampsia, tekanan darah tinggi, kaki bengkak, kram saat melahirkan, anemia, bayi prematur dan bayi lahir dengan berat badan rendah, dan kematian ibu saat melahirkan. Survei Kesehatan Demografi Indonesia (SDKI) 2012 menemukan bahwa AKI di Indonesia adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan AKB adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline