Di Kota Yogyakarta, banyak berbagai macam sejarah, kebudayaan, peninggalan dan peristiwa yang akhirnya banyak di abadikan dalam museum. Salah satunya museum yang terletak berseberangan dengan Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang tertarik untuk saya kunjungi. Museum Sonobudoyo memiliki daya tarik bagi saya yang akhirnya membuat kaki ini menginjakkan langkah disana. Meski sebelumnya saya pernah berada disana dan melihat berbagai peninggalan yang terpampang, namun ada satu hal lain yang membuat diri saya ingin sekali kembali mengunjungi Museum Sonobudoyo. Sonobudoyo sendiri merupakan museum yang didirikan pada tahun 1934 dan diresmikan pada 6 November 1935 oleh Sultan Hamengkubuwana VIII.
Pagi itu sabtu yang cerah, saya dan teman saya sepakat mengunjungi museum ini. Dengan bermodal kendaraan roda dua menembus macetnya jalan Kota Yogyakarta, saya tidak sabar mengenang kembali Museum Sonobudoyo yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Jika kalian bertanya-tanya apa yang membuat saya ingin kembali kesana?, jawabannya sederhana. Saya sangat menyukai hal yang menarik membuat saya selalu ingin mengabadikan momen dalam jepretan kamera. Pada sebelumnya saat mengunjungi museum ini saya berfoto di tempat dengan layar yang lebar seperti simulasi yang interaktif menggunakan panah dengan menggerakkan tangan kita seolah-olah memegang panah. Mungkin bagi kalian itu hanya sederhana namun, bagi saya itu sangat berarti dari virtual teknologi tersebut saya menjadi membayangkan bagaimana para pahlawan kita dahulu menggunakan senjata-senjata tersebut.
Saskia: "Mas Daf, sabtu besok kamu sibuk gak? temenin aku ke museum yuk"
Daffa: "Boleh sas, tapi aku bisanya setelah dhuhur"
Saskia: "Ayok, kumpul di kosku ya!"
Obrolan di via telefon tersebut membuat persetujuan di antara kami untuk mengunjungi museum.
Waktu perjalanan saya tempuh kurang lebih sekitar dua puluh menit dari kos, saya bersama teman akhirnya sampai ditujuan dengan selamat. Sampai di depan gerbang pemandangan langsung dengan keramaian pengunjung juga antusias seperti kami. Gamelan tertata rapi di kanan kiri setelah kami menerima tiket dari loket, menyambut mata pengunjung yang datang. Sebagian ada yang memotretnya ada yang sejenak melipir untuk mengamati gamelan tersebut, sedangkan saya memutuskan untuk melanjutkan langkah segera memasuki museum. Di dalam museum dengan cahaya remang dan lampu-lampu yang tersorot fokus di benda-benda yang terpajang, mata ini tertarik melihat patung yang berada di sudut dinding museum. Kaki ini melangkah mendekatinya, bersama teman saya yang saya tarik untuk melihatnya. Entahlah, namun patung dengan bentuk seperti arca kuno yang seperti menyiratkan aura sejarah yang membuat saya kagum.
Setelah puas melihat, saya berkeliling untuk sekedar mengenal kembali benda-benda yang ada disana. Meski tidak ada jiwa-jiwa sejarah dalam diri saya, namun museum ini begitu menarik perhatian saya sendiri. Virtual Teknologi yang ada membuat saya dengan mudah memahami apa yang ditampilkan, Virtual Reality juga menampakan berbagai kegunaan senjata-senjata terdahulu. Alhasil tidak hanya orang-orang kalangan orang dewasa yang tertarik untuk kesana, namun anak-anak dan semua usia begitu antusias untuk sekedar berkunjung ataupun belajar di museum ini. Selain itu, layar lebar Virtual Teknologi menayangkan awal mula adanya Jogja hingga pengaruh Yogyakarta ke Batavia. Setelah itu kami bermain musik di lengkapi sensor gerak dengan kecanggihannya.
Begitu menyenangkan bermain sambil belajar, kami kembali melihat-lihat hingga kami tertarik pada sejarah sumbu filosofi yang dipaparkan pada tulisan, sejenis artikel. Di dalam artikel tersebut terdapat sejarah sumbu filosofi Jogja yang menceritakan tugu gologgiling sampai menjadi tugu Jogja. Kami menikmati seluruh pajangan dalam museum dan membaca sejarahnya. Dari situ kami berjalan menuju lantai dua dengan sesekali bersenda gurau, saya sesekali menceritakan mengenai museum sonobudoyo dulu saat berkunjung disini. Ternyata banyak perbedaan yang terjadi dengan penampilan museum yang sekarang seperti banyak ruangan yang di renovasi, bahkan sesuatu yang membuat saya ingin kemari lagi sudah tidak ada. Namun hal itu tidak membuat antusias saya berkurang sebab ketika langkah kaki ini berada di lantai dua kami beruntung karena melihat berbagai jenis topeng dari daerah jawa. Ternyata begitu banyak kebudayaan yang berada di negeri ini yang belum banyak saya tahu. Puas melihat-lihat museum kami berjalan keluar untuk meninggalkan museum. Tak terasa terik matahari sudah menyengat di atas kepala membuat saya dan teman saya memutuskan untuk istirahat, makan, dan menunaikan ibadah sholat. Meskipun kami di Jogja namun kami memutuskan untuk makan jajanan khas dari Bandung, ya karena kita anak muda, kami memesan seblak sebagai makan siang kami. Kenyang mengisi perut kami memutari Jogja sembari mengobrol bersama, terlihat banyak wisatawan menikmati kota istimewa di setiap sudutnya. Sesekali kami bersenda gurau mengomentari wisatawan yang ada di jalan entah mereka yang sebal dengan kemacetan atau yang sedang menikmati makanan di pinggir jalan dan tak lupa menceritakan kembali beberapa hal yang membuat kami tertarik dari Sonobudoyo.
Ternyata berkeliling Jogja belum membuat kami puas jalan-jalan, rasanya kami masih ingin menikmati Jogja di sore hari.
"Seru juga ya keliling-keliling Jogja, gimana kalo kita lanjut nonton bioskop?"
kataku pada Daffa.
"Boleh, kebetulan aku juga bingung abis ini mau ngapain."