Lihat ke Halaman Asli

Tak Ada Gading yang Tak Retak

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasca diumumkannya Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, baik di media massa maupun di media sosial masyarakat banyak membicarakan sikap beberapa menteri pilihan presiden yang dinilai memiliki sikap yang nyeleneh, salah satunya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Setelah diumumkannya Susunan Kabinet oleh Presiden Joko Widodo pada 26 Oktober 2014 yang lalu, Menteri Susi duduk di rumput di halaman Istana Kepresidenan dan menyalakan sebatang rokok ketika diwawancarai oleh wartawan.

Sudah menjadi suatu keharusan bahwa seorang menteri memiliki berkepribadian dan sikap yang sepatutnya bisa dijadikan contoh oleh masyarakat. Namun, masyarakat tetap perlu memahami bahwa kinerja seorang menteri tidak hanya dinilai dari sikapnya. Sebagai warga negara yang baik, masyarakat harus tetap optimis atas pilihan Presiden Joko Widodo atas menterinya merupakan pilihan yang terbaik dan akan membawa perubahan bagi Indonesia kedepan. Masyarakat juga harus menjaga keobjektivitasannya dalam menilai seorang menteri tidak hanya dari sikap melainkan juga dari track record yang dimiliki seorang menteri.

Menteri Susi memiliki gaya yang berbeda dan menarik untuk diperhatikan. Dimulai dari gaya berpakaiannya yang modis hingga gaya bicaranya yang ceplas-ceplos dilengkapi dengan suara yang berat serta kebiasaannya merokok semakin memberikan kesan yang berbeda pada sosok Menteri Kelautan dan Perikanan keenam ini. Namun demikian, sebelum menjadi seorang menteri, Susi Pudjiastuti merupakan seorang pebisinis wanita yang layak diacungi jempol.

Semasa kecilnya, Susi mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertamanya di Pangandaran dan berhasil lulus serta mendapatkan ijazah. Setamat SMP, Susi sempat melanjutkan pendidikan ke SMA. Menjadi seorang anak yang pandai, Susi menjadi anak kebanggaan dari orang tuanya. Ayah Susi, Haji Ahmad Karlan, mengirim Susi ke Yogyakarta untuk bersekolah di sekolah terbaik di Yogyakarta. Susi bersekolah di SMAN 1 Teladan Yogyakarta. Selama bersekolah di SMA tersebut, Susi hampir selalu mendapatkan peringkat satu. Namun, pada tahun 1982, ketika duduk di bangku kelas 2 SMA, Susi memutuskan untuk berhenti bersekolah karena merasa muak dengan sistem sekolah yang dijalaninya pada waktu itu. Usianya baru 17 tahun saat itu. Ayahnya yang selama ini memanjakannya dan membebaskannya membeli buku-buku marah hingga hampir dua tahun keduanya tidak saling bertegur sapa.

Merasa jenuh karena tidak memiliki kegiatan setelah memutuskan untuk berhenti bersekolah, pada tahun 1983, Susi mengawali profesi sebagai pengepul ikan di Pangandaran dengan modal yang minim hasil dari menjual perhiasannya setelah tidak bersekolah lagi pada saat itu. Tidak puas hanya berbisnis ikan laut di satu daerah, Susi mulai melirik daerah Pangandaran di pantai selatan Jawa Barat. Usaha perikanannya mengalami perkembangan yang cukup pesat. Jika semula komoditi yang diperdagangkan ikan dan udang, maka Susi mulai memasarkan komoditas yang lebih berorientasi ekspor, yaitu lobster. Bisnisnya terus berkembang hingga pada tahun 1996 Susi mendirikan pabrik pengolahan ikan PT ASI Pudjiastuti Marine Product dengan produk unggulan berupa lobster dengan merek “Susi Brand”.

Besarnya permintaan luar negeri untuk menyediakan stok lobster, Susi pun harus berkeliling Indonesia mencari sumber suplai lobster. Pada saat itu timbul masalah lain, dikarenakan stok yang melimpah, transportasi angkutan untuk distribusi, terutama udara, sangat terbatas. Pengiriman dengan kapal laut dan melalui dinilai terlalu lama karena lobster bisa terancam busuk atau menurun kualitasnya serta akan menyebabkan banyaknya lobster yang akan mati di jalan.

Pada tahun 2004, Susi memutuskan membeli sebuah Cessna Caravan seharga Rp 20 miliar menggunakan pinjaman bank melalui PT ASI Pudjiastuti Aviation. Satu-satunya pesawat yang dimiliki itu kemudian digunakan untuk mengangkut lobster dan ikan segar tangkapan nelayan di berbagai pantai di Indonesia ke pasar Jakarta dan Jepang. Call sign yang digunakan Cessna itu adalah Susi Air. Dua hari setelah gempa tektonik dan tsunami yang melanda Aceh dan pantai barat Sumatera pada 26 Desember 2004, Cessna Susi adalah pesawat pertama yang berhasil mencapai lokasi bencana untuk mendistribusikan bantuan kepada para korban yang berada di daerah terisolasi. Peristiwa itu mengubah arah bisnis Susi. Susi menyewakan pesawatnya itu yang semula digunakan untuk mengangkut hasil laut untuk misi kemanusiaan. Selama tiga tahun berjalan, maka perusahaan penerbangan ini semakin berkembang hingga memiliki 14 pesawat, ada 4 di Papua, 4 pesawat di Balikpapan, Jawa dan Sumatera. Perusahaannya memiliki 32 pesawat Cessna Grand Caravan, 9 pesawat Pilatus Porter, 1 pesawat Diamond star dan 1 buah pesawat Diamond Twin star. Sekarang Susi Air memiliki 49 dan mengoperasikan 50 pesawat terbang beragam jenis.

Susi menerima banyak penghargaan antara lain Pelopor Wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat tahun 2004, Young Entrepreneur of the Year dari Ernst and Young Indonesia tahun 2005, serta Primaniyarta Award for Best Small & Medium Enterprise Exporter 2005 dari Presiden Republik Indonesia. Tahun 2006, ia menerima Metro TV Award for Economics, Inspiring Woman 2005 dan Eagle Award 2006 dari Metro TV, Indonesia Berprestasi Award dari PT Exelcomindo dan Sofyan Ilyas Award dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2009. Pada tahun 2008, ia mengembangkan bisnis aviasinya dengan membuka sekolah pilot Susi Flying School melalui PT ASI Pudjiastuti Flying School. Pada Minggu, 26 Oktober 2014, dalam pengumuman Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK Ibu Susi Pudjiastuti ditetapkan oleh Presiden RI Joko Widodo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.

Latar belakang dan banyaknya penghargaan yang diperoleh oleh salah satu menteri Presiden Joko Widodo yang berperilaku nyentrik ini memperlihatkan bahwa dibalik sosoknya yang ramai dibicarakan oleh masyarakat dan banyak diragukan oleh beberapa ahli kelautan terdapat harapan untuk tetap optimis akan terjadinya suatu perubahan masa depan Indonesia kearah yang lebih baik dalam masa kerja para menteri dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Catatan prestasi para menteri sudah sepatutnya menjadi prioritas dalam mempertimbangkan kemampuan seorang menteri dibandingkan hanya melihat seseorang dari penampilan luarnya saja karena tak ada gading yang tak retak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline