Lihat ke Halaman Asli

Saskia Noviyanti

Interested in Language, Literature and Linguistics

Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam Program Merdeka Belajar

Diperbarui: 31 Maret 2023   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Biografi Singkat Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara, dengan nama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat, lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Suwardi Suryaningrat merupakan keturunan bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta, yaitu Kanjeng Pangeran Ario Suryaningrat dan Raden Ayu Sandiah. Selain itu, ayahnya adalah cucu dari Paku Alam III yang merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga. Terlahir dari keluarga keraton, Ki Hajar Dewantara berkesempatan untuk belajar di Europeesche Lagere School atau Sekolah Dasar Belanda selama 7 tahun. 

Selanjutnya, beliau melanjutkan pendidikan di STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen) atau sekolah dokter Jawa di Jakarta melalui beasiswa yang ditawarkan oleh dr. Wahidin Sudiro Husodo. Sayangnya, beasiswa tersebut dicabut karena alasan kesehatan Ki Hajar Dewantara yang sempat memburuk selama 4 bulan. Namun, diduga hal tersebut tidak menjadi alasan satu-satunya karena pencabutan beasiswa dilakukan beberapa hari setelah deklamasi karya sajaknya yang mendeskripsikan perjuangan panglima perang Pangeran Diponegoro, yakni Ali Basah Sentro Prawirodirdjo (Wiryopranoto et al., 2017: 149-150).

Kegagalan menjadi dokter tidak mematahkan semangat perjuangan dari Ki Hajar Dewantara. Baginya, masih banyak profesi lain yang menyediakan ruang perjuangan seperti jurnalis, politis, hingga pedagogis. Setelah meninggalkan STOVIA, beliau menjalankan kesehariannya untuk belajar sebagai analis di laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas. Seraya menjalankan sebagai asisten apoteker di Apotik Rathkamp, Ki Hajar Dewantara juga menjadi jurnalis di Surat Kabar Sedyotomo dan Midden Java di Yogyakarta, serta De Express di Bandung. 

Selain itu, ia juga berkecimpung pada media cetak lainnya seperti Oetoesan Hindia, Tjahatja Timur, dan Kaoem Moeda. Dengan gaya kepenulisannya yang halus dan komunikatif, Ki Hajar Dewantara menjadi jurnalis yang kerap mengkritik Belanda. Misalnya, karyanya yang berjudul "Andai Aku Orang Belanda" secara terang-terangan menentang kebijakan Belanda yang merayakan 100 tahun sejak penarikan upeti terhadap rakyat Indonesia dilakukan (Widodo, 2017).

Pada tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Sekolah Taman Siswa yang merupakan realisasi diskusi Selasa Kliwon yang banyak membahas solusi perihal bagaimana menciptakan sistem pendidikan yang humanis. Baginya, semakin humanis pendidikan di sebuah negara, semakin banyak kesempatan pendidikan yang diperoleh oleh generasinya. 

Melihat urgensinya di Indonesia, beliau memandang pendidikan sebagai salah satu upaya dalam menghapus jejak penjajahan, baik secara fisik maupun psikis. Pemikiran cerdas dari Ki Hajar Dewantara ini kemudian menghantarkannya sebagai pahlawan nasional, khususnya pada dunia pendidikan. Untuk menghormati jasa-jasanya, tanggal kelahirannya (2 Mei) diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Berkamsyah, 2020: 42).

Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Pendidikan kerap didefinisikan sebagai usaha manusia dalam membina karakternya untuk sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Dalam perkembangnya, istilah pendidikan sendiri diartikan sebagai pertolongan secara sengaja oleh orang dewasa supaya kedewasaan di dalam dirinya bisa terbentuk dengan baik. Selanjutnya, pendidikan juga merujuk pada sebuah usaha yang dilakukan secara individu maupun kelompok untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik, baik secara fisik maupun mental (Tafsir dalam Jamaluddin, 2014: 130). 

Selaras dengan hal ini, Nurkholis (2013: 24) berpendapat bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yang melibatkan dimensi individu, masyarakat, dan seluruh realitas secara material dan spiritual yang berperan penting dalam menciptakan nasib, bentuk, dan sifat manusia atau masyarakat sekalipun. 

Oleh karenanya, pendidikan seharusnya tidak hanya berkutat tentang pengajaran saja, melainkan pula sebagai proses transfer ilmu, transformasi nilai, dan pembentukan karakter. Sederhananya, pendidikan diperlukan untuk mencapai kesempurnaan dan keseimbangan individu dalam rangka mewarisi nilai kebudayaan, pemikiran, dan keahlian, sebagai tonggak masa depan dari sebuah bangsa dan negara.

Dalam sudut pandang Ki Hajar Dewantara, pendidikan dipandang sebagai upaya yang harus dilakukan manusia demi menciptakan karakter yang bermanfaat dalam kehidupannya. Hal ini dapat diselenggarakan melalui peningkatan potensi yang relevan dengan minat dan bakat individu, baik secara jasmani dan rohani. Oleh karenanya, pendidikan memang berkaitan erat dengan nilai humanisme dan tidak bisa melukai kebudayaan dalam masyarakat. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang layak mampu memberikan kemerdekaan dalam berkehidupan secara lahir dan batin (Kuswandi dalam Hedratmoko et al., 2017: 153).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline