Lihat ke Halaman Asli

Cancel Culture dan Dinamika Kebebasan Berekspresi di Sosial Media

Diperbarui: 25 September 2024   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era digital ini, sosial media sudah menjadi salah satu ‘makanan sehari-hari’ masyarakat di seluruh dunia. Dengan sosial media, orang-orang dapat berinteraksi dengan satu sama lain tanpa batas ruang dan waktu. Selain itu, sosial media dapat dikatan sebagai ‘surga’nya berekspresi untuk sebagian besar orang. Tiada batas dalam mengunggah apapun di dunia maya, selagi aturan tetap dipatuhi.

Namun, seringkali surga ini dapat menjadi neraka untuk sebagian orang; satu unggahan yang tidak tepat dapat menghancurkan reputasi seumur hidup. Dalam sekejap mata, sebuah pernyataan atau tindakan yang dianggap kontroversial dapat tesebar luas di media sosial, menarik reaksi massal dari ribuan orang yang terhubung di jejaring dunia maya. Ribuan komentar kritikan membanjiri halaman sosial media, kecaman dan tuntutan pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan mengikuti setiap langkah di pelaku di sosial media.

Cancel culture seringkali dikenal sebagai gerakan massal di sosial media yang menjadi alat masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban atas kesalahan pernyataan atau perilaku yang dianggap tidak etis oleh masyarakat luas. Melihat konsekuensinya, banyak masyarakat yang berargumen bahwa Cancel Culture merupakan hal yang buruk; seperti cara baru untuk menjatuhkan reputasi seseorang tanpa ampun. Namun, apakah benar Cancel Culture selamanya hanya berdampak buruk?

Konsep cancel culture dapat ditelusuri kembali dari bentuk-bentuk sebelumnya, yaitu public shaming dan kegiatan memboikot seseorang. Public Shaming sudah dilakukan dari zaman dahulu, namun generasi sekarang menamainya Cancel Culture sebagai bahasa lain dari public shaming di zaman modern.  Kata “Cancel” dipopulerkan dalam bahasa Inggris Vernakular Afrika-Amerika sebelum akhirnya populer di sosial media, seperti Twitter dan Tumblr. Istilah ini mulai populer di pertengahan hingga akhir 2010, dan tersebar luas di budaya pop pada tahun 2017 sebagai penggambaran penolakan terhadap perilaku maupun pernyataan yang dianggap tidak etis dan konsekuensinya. Dengan Cancel culture, orang-orang yang sebelumnya sulit diadili hukum formal dapat diadili dengan hukum sosial.

Dalam kehidupan sosial di era sekarang, cancel culture berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu-isu sosial, seperti keadilan gender, ras, lingkungan, dan hak asasi manusia. Dengan semakin banyaknya orang yang mendapatkan informasi dan memanfaatkan kekuatan media sosial, cancel culture telah menjadi bagian integral dari alat perubahan sosial.

Namun, cancel culture masih menjadi topik perdebatan yang cukup hangat di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat merasa bahwa cancel culture hanya membawa malapetaka semata; lahirnya cancel culture dalam dunia maya hanya menghambat kebebasan berpendapat semua orang, yang mengakibatkan orang-orang enggan mengungkapkan opini mereka karena takut akan reaksi negatif yang bisa saja ditimbulkan nantinya. Selain itu, orang-orang yang menjadi target cancel culture seringkali mengalami stress, depresi, dan perasaan isolasi sosial yang diakibatkan oleh tuntutan-tuntutan pertanggungjawaban yang dihadapi mereka.

Di sisi lain, sebagian orang berpendapat bahwa cancel culture diperlukan di dunia modern seperti saat ini. Mereka berpendapat bahwa cancel culture dapat menjadi alat yang efektif untuk menyadarkan orang-orang terhadap isu-isu sosial maupun perbuatan yang telah melampaui batas norma dan etika yang berlaku di masyarakat, agar pelaku-pelaku yang melakukan hal-hal yang merugikan ataupun tidak pantas dapat mempertanggungjawabkan perilaku mereka. Selain itu, melalui cancel culture, memungkinkan masyarakat untuk memahami isu-isu sosial yang diabaikan sebelumnya.

Kedua pandangan ini tidak hanya argumentasi kosong semata; keduanya didukung oleh kasus-kasus yang terjadi di dunia nyata. Banyak sekali kasus cancel culture yang mengorbankan reputasi dan menyebabkan hancurnya karir seseorang diakibatkan oleh perbuatannya di masa lalu, seperti pada kasus Kevin Spacey, seorang aktor yang dituduh melakukan pelecehan seksual pada rekan kerjanya yaitu Anthony Rapp pada saat Anthony masih remaja. Meskipun Kevin telah membantah tuduhan tersebut, hal ini tidak berpengaruh kepada reputasinya yang telah hancur lebur; Perannya sebagai Frank Underwood di series Netflix House Of Cards secara cepat dikeluarkan dari season terakhir. Setelah kontroversi tersebut, Kevin mengalami penolakan hampir total dari dunia hiburan.

Kasus ini menunjukkan bagaimana cancel culture dapat menghancurkan karier seseorang dengan sangat cepat ketika tuduhan serius muncul, terutama di era di mana media sosial memainkan peran utama dalam membentuk opini publik. Tuduhan pelecehan seksual yang melibatkan figur publik dapat dengan mudah memicu reaksi besar dari masyarakat, dan meskipun proses hukum mungkin masih berlangsung, cancel culture memiliki dampak instan dan tidak selalu membutuhkan putusan pengadilan untuk mengubah karier seseorang secara permanen.

Di sisi lain, para korban pelecehan seksual yang sebelumnya tidak berani mengungkapkan apa yang dialami mereka, akhirnya dapat membuka suara setelah sekian lama memendam apa yang mereka rasakan selama ini. Pelaku-pelaku kejahatan seksual yang sebelumnya merasa aman, akhirnya dapat diadili secara sosial oleh masyarakat luas. Hal ini juga dapat mempercepat proses hukuman formal bagi para pelaku. Dalam beberapa kasus, korban yang tidak mendapatkan keadilan melalui jalur hukum formal menemukan dukungan dan solidaritas melalui cancel culture. Masyarakat luas dapat memberikan tekanan kepada pelaku untuk mengakui kesalahan atau menerima konsekuensi atas tindakan mereka.

Tidak dapat diragukan lagi bahwa cancel culture memiliki tendensi untuk menjadi gerakan yang tidak sehat, karena dapat menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri, pelanggaran privasi, atau mendapatkan ancaman kriminal seperti doxxing. Sifat sebagian besar komentar di media sosial tampaknya menunjukkan bahwa cancel culture tidak selalu menghasilkan perubahan sosial yang positif; Cancel culture seringkali disamakan dengan cyberbullying karena menyebarkan kebencian yang terkadang dapat menjadi dilebih-lebihkan di dunia maya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline