Islam sebagai hasil interaksi sosial dapat menghasilkan berbagai pemahaman yang bisa mendekatkan atau menjauhkan manusia dari ajaran dasarnya. Ajaran dasar tersebut merujuk pada nilai-nilai teologis yang menjadi landasan utama. Ketika nilai-nilai subjektif dalam Islam diinternalisasi dan disebarkan, mereka dapat membentuk komunitas baru yang mencerminkan kehidupan sosial. Kajian ini berfokus pada bagaimana kepemilikan Islam oleh individu dan masyarakat tercermin dalam pengalaman beragama mereka.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana karakteristik dan wujud baru Islam sebagai hasil hubungan sosial. Menjawab pertanyaan ini memerlukan analisis mendalam mengenai fitrah manusia, agama sebagai fenomena sosial, serta bagaimana Islam berfungsi sebagai produk sosial.
Arah kajian ini bertujuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai dasar Islam dengan kehidupan sosial, bukan untuk menjauhkan manusia dari ajaran teologis. Dengan memahami berbagai faktor yang memengaruhi perubahan ini seperti budaya, politik, dan ekonomi kita bisa melihat bagaimana komunitas Muslim menerapkan nilai-nilai Islam dalam konteks mereka. Hal ini diharapkan dapat membantu masyarakat menjalani kehidupan beragama yang lebih relevan dan kontekstual. (Dos)
Fitrah Sebagai Sistem dalam Kehidupan
Dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, Muhammad Ibn `Asyur menyatakan bahwa fitrah adalah sistem yang diciptakan Allah untuk setiap makhluk, termasuk manusia, yang mencakup jasmani, akal, dan ruh serta mencerminkan nilai-nilai kesucian. Fitrah ini menunjukkan bahwa manusia sejak awal diciptakan dengan potensi untuk beragama yang lurus, dikenal sebagai tauhid.
Namun, fitrah manusia tidak terbatas pada aspek keagamaan saja. Banyak ayat dalam Al-Qur'an, seperti QS Ali Imran [3]:14, menyoroti potensi manusia dalam berbagai hal. Setiap manusia memiliki fitrah beragama yang ada sejak awal, menegaskan pentingnya agama untuk kemajuan dan kesejahteraan.
Ketika manusia taat kepada Allah, mereka akan merasakan kehadiran-Nya dan menyadari bahwa setiap tindakan mereka diawasi-Nya. Jika fitrah ini terjaga, sifat ihsan akan muncul, membuat individu lebih berhati-hati dan tertib dalam perilaku.
Ihsan ini tercermin dalam tiga konteks: ibadah, teologi, dan muamalah, yang semuanya berakar dari nilai-nilai agama. Sejak dahulu, manusia mencari kekuatan yang menciptakan mereka, meskipun sering terjebak dalam kesenangan dunia. Dalam kesulitan, mereka akan kembali berdoa kepada Allah, menunjukkan bahwa fitrah beragama tidak terpisahkan dari kehidupan.
Dalam Islam, fitrah adalah sifat bawaan yang ada pada setiap manusia sejak lahir. Meskipun fitrah ini bisa berubah melalui asuhan dan pendidikan, manusia dilahirkan dengan dorongan untuk beragama. Nabi Muhammad menyatakan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, dan orang tua berperan penting dalam membentuk kepercayaannya.
Pengajaran agama dimulai dengan memperdengarkan adzan saat kelahiran, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan nilai kebersihan serta ibadah. Dengan cara ini, fitrah beragama manusia dapat dipelihara dan berkembang.
Secara keseluruhan, fitrah manusia terhadap agama adalah sifat yang melekat, dan agama memberikan perlindungan serta ketenangan jiwa. Fitrah beragama sangat penting dalam membantu manusia menjalani kehidupan yang bermakna. (alTunisi, 1393)