Lihat ke Halaman Asli

SASI MILIARTI

MAHASISWA UNIVERSITAS MERCU BUANA

Menjadi Sarjana dan Menciptakan Etika Kebahagiaan Aristoteles

Diperbarui: 28 September 2024   16:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri, Prof Apollo

Dalam perjalanan menjadi seorang sarjana, setiap individu sering kali bertanya, apa tujuan akhir dari segala upaya akademik dan profesional ini? Apakah pencapaian akademik tertinggi akan membawa pada kebahagiaan yang sejati? Pertanyaan ini seringkali membawa kita pada konsep etika kebahagiaan yang diperkenalkan oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles. 

Pemikiran Aristoteles tentang kebahagiaan (eudaimonia) menjadi panduan bagi manusia modern yang ingin memahami hubungan antara pengetahuan, kebajikan, dan kehidupan yang baik.Di dalam tulisan ini, kita akan menjawab tiga pertanyaan besar yang memandu pemahaman tentang bagaimana menjadi seorang sarjana dan bagaimana konsep etika kebahagiaan Aristoteles dapat diterapkan dalam kehidupan. 

Pertanyaan pertama adalah mengapa menjadi seorang sarjana penting dalam pencarian kebahagiaan. Pertanyaan kedua adalah mengapa etika Aristoteles masih relevan dalam dunia modern. Dan yang terakhir, bagaimana seorang sarjana dapat menciptakan etika kebahagiaan dalam hidupnya, sesuai dengan filosofi Aristoteles.

Mengapa Menjadi Sarjana Itu Penting?


Menjadi seorang sarjana adalah sebuah perjalanan panjang yang menuntut dedikasi, kerja keras, dan komitmen terhadap pengetahuan. Namun, pertanyaannya adalah, mengapa banyak orang merasa terdorong untuk meraih gelar akademik yang tinggi? Dalam konteks modern, pendidikan sering kali dianggap sebagai kunci kesuksesan ekonomi dan sosial. Sarjana memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, pengakuan sosial, dan stabilitas finansial. Namun, apakah itu benar-benar yang kita cari dalam hidup?

Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politikon, makhluk sosial yang memiliki kemampuan berpikir rasional. Dalam hal ini, pendidikan memainkan peran penting dalam mengembangkan potensi rasional tersebut. Aristoteles percaya bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui pengembangan diri dan kebajikan. Pendidikan, terutama pada level tertinggi seperti menjadi sarjana, adalah salah satu cara terbaik untuk mengasah kebajikan intelektual dan moral.

Dengan menjadi sarjana, seseorang tidak hanya belajar tentang berbagai bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga bagaimana berpikir secara kritis, menyusun argumen, dan memahami dunia dari perspektif yang lebih luas. Pendidikan memungkinkan individu untuk memahami prinsip-prinsip etika, yang pada akhirnya membantu mereka hidup dengan baik, sesuai dengan kebajikan yang Aristoteles anggap sebagai fondasi kebahagiaan sejati.

Mengapa Kebahagiaan Itu Penting?

Kebahagiaan adalah tujuan akhir yang dicari oleh semua manusia, menurut Aristoteles. Ia berpendapat bahwa setiap tindakan manusia pada akhirnya diarahkan untuk mencapai kebahagiaan. Aristoteles menggunakan istilah eudaimonia untuk menggambarkan kebahagiaan ini, yang lebih dari sekadar perasaan senang atau puas secara sementara. Eudaimonia adalah kehidupan yang dijalani dengan baik, sejalan dengan kebajikan, dan menghasilkan kepuasan jangka panjang.

Mengapa kebahagiaan ini penting? Aristoteles berargumen bahwa kebahagiaan adalah tujuan tertinggi dari eksistensi manusia. Berbeda dengan kesenangan fisik atau materi, yang sifatnya sementara dan seringkali memudar, kebahagiaan yang sejati dapat bertahan seumur hidup. Dengan kata lain, menjadi sarjana atau meraih pencapaian akademik hanyalah langkah awal dalam mencari kebahagiaan sejati.

Di dunia modern yang penuh dengan distraksi teknologi dan materialisme, konsep Aristoteles tentang kebahagiaan masih sangat relevan. Kebanyakan orang menghabiskan hidup mereka mengejar uang, status sosial, dan kesuksesan materi lainnya, tanpa benar-benar memikirkan apakah itu akan membawa kebahagiaan yang langgeng. Aristoteles mengajarkan bahwa hanya dengan mengembangkan kebajikan dan menjalani hidup yang bermakna, seseorang dapat mencapai eudaimonia.

Mengapa Etika Aristoteles Masih Relevan?


Meskipun Aristoteles hidup lebih dari dua milenium yang lalu, pemikirannya tentang etika dan kebahagiaan tetap relevan hingga saat ini. Dunia modern menghadapi banyak tantangan baru, mulai dari teknologi, globalisasi, hingga masalah-masalah sosial dan politik yang kompleks. Namun, nilai-nilai dasar yang disampaikan oleh Aristoteles tetap dapat diaplikasikan dalam konteks ini.

Pertama, Aristoteles menekankan pentingnya kebijaksanaan praktis (phronesis) dalam pengambilan keputusan etis. Di era digital ini, di mana informasi mengalir begitu cepat dan banyak pilihan yang tersedia, kemampuan untuk membuat keputusan yang bijak dan berlandaskan etika sangatlah penting. Banyak individu, termasuk sarjana, dihadapkan pada dilema etis dalam karir dan kehidupan pribadi mereka. Etika Aristoteles mengajarkan bahwa keputusan terbaik selalu didasarkan pada keseimbangan, bukan ekstrem.

Kedua, konsep mesotes atau jalan tengah Aristoteles mengajarkan bahwa kebajikan adalah keseimbangan antara dua ekstrem. Misalnya, keberanian adalah keseimbangan antara terlalu takut dan terlalu berani. Dalam kehidupan akademik dan profesional, menemukan keseimbangan antara ambisi dan kepuasan, antara kerja keras dan kesehatan, adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan jangka panjang.

Bagaimana Seorang Sarjana Menciptakan Etika Kebahagiaan?


Setelah memahami pentingnya pendidikan dan relevansi etika Aristoteles, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana seorang sarjana dapat menciptakan etika kebahagiaan dalam hidupnya? Ada beberapa langkah yang bisa diambil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline