Lihat ke Halaman Asli

Elisabeth Murni

TERVERIFIKASI

dream - journey - discover

Menjajal Geo Tubing Lava Bantal, Syahdu dan Seru

Diperbarui: 21 Februari 2017   06:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lava Bantal (pic: dok pribadi)

Siang itu suasana hening. Hanya ada suara gemericik aliran air yang mengalir tanpa henti. Sesekali terdengar kepak sayap burung dan desau angin yang meniup rumpun bambu sehingga membuatnya bergoyang pelan.

Di atas ban pelampung yang meluncur dengan pelan saya sedikit mengantuk. Bukankah ini momen yang syahdu untuk terlelap?

Namun hanya sebentar saya bisa menikmati ketenangan itu. Tiba-tiba aliran sungai sedikit berjeram. Ban saya oleng dan menabrak pinggiran sungai yang terbuat dari sedimen lumpur. “Awas pohon” teriak seorang kawan di belakang mengingatkan. Yang dimaksud pohon tentu saja batang bambu yang roboh dan menjorok ke tengah sungai. Dengan kedua tangan yang menjadi pengganti dayung, saya berusaha mengendalikan ban menjauh dari tumpukan batang bambu tersebut.

pic by Arif Lukman Hakim

Rombongan Kompasianer Jogja yang menjadi kawan seperjalanan saya akhir pekan itu pun akhirnya satu persatu menyusul. Kini suasana tak lagi hening namun berubah riuh. Celotehan dan suara tawa pun memenuhi aliran Sungai Opak.

Berhulu di Gunung Merapi, Sungai Opak meliuk dengan indah sejauh 65 kilometer, melewati Kabupaten Sleman dan Bantul, lantas bermuara di Pantai Samas. Sungai yang melintasi sisi barat Candi Prambanan dan pernah menjadi batas alami wilayah Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta.

Di salah satu bagian Sungai Opak yang melewati Kecamatan Berbah, terdapat fenomena alam yang menarik, yaitu keberadaan batuan besar di bantaran sungai. Berbeda dengan batu kali yang biasanya berdiri tunggal dan terpisah, batuan ini saling menyambung dengan tekstur tidak beraturan.

Menurut catatan geologis, batuan tersebut terbentuk dari proses pembekuan lahar yang keluar dari gunung api bawah laut. Dalam rentang waktu jutaan tahun, lahar beku tersebut menemukan bentuknya yang lonjong tak beraturan seperti sekarang dan dikenal dengan nama lava bantal watuadeg.

Bertahun-tahun keberadaan lava bantal di kawasan Kalitirto, Berbah, Sleman ini diabaikan. Namun pada akhir tahun 2014 pemerintah menjadikan lava bantal watuadeg sebagai salah satu dari 8 warisan geologi (geoheritage) yang ada di Yogyakarta. Hal ini disebabkan kawasan lava bantal merepresentasikan rangkaian rekaman proses geologi dalam sejarah dinamika permukaan bumi. Lantas pada medio 2016, Gubernur DIY meresmikan kawasan lava bantal sebagai wilayah eskoturisme.

Banyak gaya! (pic by Geotubing lava bantal)

Nah, yang saya dan kawan-kawan Kompasiana lakukan hari itu (sabtu, 18/2) adalah menyusuri aliran Sungai Opak yang melewati kawasan lava bantal. Aktivitas wisata yang baru saja dikenalkan beberapa waktu lalu ini disebut dengan nama Geo Tubing Lava Bantal. Penyematan kata Geo Tubing ini bermaksud untuk memperjelas sekaligus membedakan dengan aktivitas tubing lainnya yang sudah ada di Yogyakarta seperti River Tubing Sungai Oya, Karst Tubing Surobayan Sedayu, atau Cave Tubing Kalisuci.

Secara teknis dan peralatan yang digunakan tidak ada pembeda antara river tubing, karst tubing, cave tubing, dan geo tubing. Yang menjadi pembeda adalah keberadaan kawasan lokasi dilakukannya tubing. Kata geo tubing disematkan karena wisata ini melewati kawasan geo heritage lava bantal.

Sebelum memasuki lokasi keberadaan lava bantal, pengarungan kami melewati sungai yang didekap rimbunnya pohon bambu. Batang bambu yang menjulang tinggi dan berdiri rapat di kanan kiri bantaran kali itu menciptakan lorong alami yang sejuk. Oleh warga sekitar lorong tersebut disebut sebagai lorong syahdu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline