Lihat ke Halaman Asli

Elisabeth Murni

TERVERIFIKASI

dream - journey - discover

Kenali Negerimu, Jelajahi Tanah Airmu!

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13509094912116742921

Indonesia adalah sepotong surga di bumi khatulistiwa yang dianugerahi bentang alam istimewa oleh Sang Pencipta. Gunung tinggi, ngarai, lembah, pantai, kepulauan, hutan, sungai, rawa-rawa, hingga perdesaan serta kota-kota besar, semua terangkai dengan indah, membujur dari Sabang hingga Merauke, melintang dari Talaud hingga Pulau Rote. Kontur alam yang beragam mempengaruhi cara hidup masyarakat. Tempat di mana mereka tumbuh, dibesarkan dan tinggal terefleksikan dalam pola pikir, perilaku, seni tradisi, dan budaya yang ada. Karena itu tak heran jika Indonesia menjadi negara dengan tingkat keragaman tertinggi di dunia, baik dari sisi keanekaragaman hayati hingga keragaman budayanya.

Begitu beragamnya budaya yang ada di Indonesia menjadikan banyak orang tidak mengenal dan memahami budaya yang ada di negeri ini. Hal ini menjadikan banyak orang sering mengalami gegar budaya saat menjejakkan kaki di tempat yang belum pernah mereka sambangi. Banyak hal unik dan lucu terjadi akibat proses gegar budaya atau culture shock.

Sebagai anak yang lahir dan besar di dataran tinggi, saya jauh lebih karib dengan halimun dan gigir pegunungan dibandingkan dengan ombak dan pesisir pantai. Budaya yang saya kenal adalah budaya pegunungan. Di mana orang-orang selalu berlilit syal, memakai jaket tebal, dan berselimutkan sarung setiap hari. Baik di ladang, di jalanan, maupun di rumah. Saya akrab dengan budaya dapur yang tidak hanya menjadi “surge makanan” namun juga menjadi ruang komunal tempat keluarga bertemu baik pagi hari sebelum berangkat kerja, maupun malam hari. Selain berdiang di depan tungku untuk menghangatkan diri, mereka juga bercakap tentang hari yang hendak dilewati atau berkisah tentang hari yang telah dijalani. Seorang kawan saya yang dibesarkan di kawasan pesisir sempat terkejut dengan budaya ini saat saya ajak mengunjungi dataran tinggi Dieng. Baginya budaya berdiang di dapur ini sangat unik dan jarang dijumpai.

Tinggal di Jawa menjadikan cara berfikir dan bersikap saya sangat Java-minded sehingga sering menimbulkan hal-hal lucu saat berinteraksi dengan masyarakat dari daerah lain. Suatu ketika saya berkunjung ke rumah teman yang bersuku Batak. Sekitar pukul 18.00 WIB, saya dan beberapa kawan ditawari makan malam. Namun berhubung asli Jawa yang suka basa-basi dan segan jika harus bilang “iya” pada tawaran pertama, kami pun menolak dengan bilang sudah makan.Pikir kami toh nanti malam pasti ditawari lagi. Rupanya pikiran kami salah. Menjelang pukul 20.00 WIB perut kami mulai keroncongan, namun kami masihstay cool. Hingga pukul 21.00 WIB berlalu tak ada tawaran makan malam lagi dari si pemilik rumah. Bahkan semua masakan yang tadinya tersusun rapi di ruang makan sudah dimasukkan ke dalam lemari. Rupanya pemilik rumah benar-benar mengira kami sudah kenyang sehingga beliau tidak menawari kami makan lagi. Akhirnya kami pun kelaparan hingga pagi. Dari pengalaman tersebut saya akhirnya paham jika berinteraksi dengan orang Batak maupun luar Jawa harus bersikap to the point dan tidak basa-basi. Kalau iya ya bilang iya, jika tidak ya bilang tidak.

Pengalaman lain yang membekas tatkala saya berkunjung ke Negeri Laskar Pelangi. Kala itu mentari baru sepenggalah tingginya. Saya dan seorang kawan pergi kesalah satu kedai kopi untuk mencicipi kopi Manggar yang terkenal enak. Sambil menunggu pesanan kopi, kawan saya bertanya apakah saya hendak memesan telur rebus setengah matang sebagai pengganjal perut atau tidak. Saya pun mengiyakan. Ketika pesanan terhidang di meja saya pun langsung terkejut. Telur rebus setengah matang yang ada jauh berbeda dengan bayangan saya. Telur ini benar-benar setengah matang yang masih cair, dicampur dengan lada dan kecap asin, serta di sajikan dalam gelas. Melihat bentuknya saya sudah kehilangan nafsu makan. Namun saya jadi ingat, mengapa saya harus “jijik” dengan makanan mereka hanya karena saya datang dari tempat yang tidak terbiasa dengan makanan seperti itu? Kenapa saya tidak berusaha memahami budaya mereka? Akhirnya saya memakan telur tersebut. Awalnya memang eneg, namun ternyata lama-lama menjadi enak.

Seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”, perbedaan budaya yang saya jumpai di tiap perjalanan maupun interaksi dengan orang-orang baru acapkali membuat saya gagap dan terasing. Namun hal itu bukan menjadi alasan untuk mengeksklusifkan diri. Perbedaan yang ada seharusnya bukan menjadi sekat pemisah, namun harus dipahami dengan sungguh sehingga mampu menjadi hal yang menyatukan. Setelah melalui proses gegar budaya dan mengalami banyak hal unik, lucu, hingga memalukan, biasanya masing-masing orang jadi lebih bisa menerima tiap perbedaan yang tercipta.

1350909560604151347

Salah satu cara terbaik untuk bisa mengenal budaya Indonesia tentu saja dengan menjelajahi negeri ini. Mengunjungi tempat-tempat yang baru dan asing akan membuat kita kaya dan belajar banyak hal. Menjelajahi tiap sudut Indonesia akan menjadikan kita sosok yang mengenal negeri ini dan mampu menyikapi perbedaan budaya dengan arif. Interaksi dengan masyarakat lokal akan membuat kita tau dan memahami kearifan lokal yang mereka junjung serta pertahankan. Memahami akan menjadikan kita pejalan yang cerdas dan punya hati. Jadi, sudah siapkah Anda untuk menjelajahi negeri ini dengan segala keunikannya?

1350909658722241444

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline