Dulu, yang selalu saya herankan tiap kali ibadah natal adalah dinyanyikannya lagu “We Are the Reason” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Karena Kita”. Bagi Anda yang tidak tahu lagunya, saya cuplikkan liriknya dalam bahasa Indonesia.
Waktu kecil kita merindukan Natal, hadiah yang indah dan menawan | Namun tak menyadari seorang bayi t’lah lahir, bawa keselamatan ‘tuk manusia | Waktupun berlalu dan kita pun tahu, anugrah yang ajaib dari Bapa | Yang Relakan anakNya disiksa dan disalibkan, di bukit Kalvari karena kasih | Karena kita Dia menderita | Karena kita Dia disalibkan | Agar dunia yang hilang diselamatkan, dari hukuman kekal
Mungkin Anda akan bertanya, apa yang saya herankan dari lagu tersebut? Jawaban saya adalah karena dimata saya lagu itu sangat aneh. Saya selalu bingung, ini lagu lebih tepat dinyanyikan saat Natal apa saat Paskah? Dari awal liriknya kita dengan mudah menduga bahwa itu adalah lagu Natal. Namun pada pertengahan lagu dimulailah kisah tentang penyaliban dan pengorbanan yang identik dengan Paskah.
Keheranan saya semakin diperkuat oleh keterangan kawan saya yang seorang Katolik. Dia berujar bahwa tiap kali perayaan Ekaristi Natal, pada bagian Doa Syukur Agung, Imam akan mengingat dan mengenang sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus, sosok yang hari lahirnya sedang dirayakan itu.
Awalnya saya pikir ini adalah sesuatu yang sangat ambigu, sekaligus aneh. Kenapa pada saat merayakan kelahiran, kita harus juga diingatkan tentang kisah kesengsaraan dan pengorbanan Yesus Kristus? Bukankah seharusnya Natal itu identik dengan sukacita? Dengan perayaan? Dengan kemeriahan?
Namun tepat satu tahun yang lalu saat eyang saya dipanggil pulang Tuhan pada pagi hari di tanggal 25 Desember, pertanyaan akan keheranan saya mendapatkan jawaban. Kelahiran dan kematian hanyalah soal aliran kehidupan saja. Siapapun yang lahir, pada masanya nanti dia pasti akan meninggal. Begitupula siapapun yang meninggal, maka pada dasarnya dia pernah mengalami proses kelahiran.
Hal ini laksana air yang mengalir dari hulu ke hilir. Bahwa air pernah melewati hulu sebelum akhirnya sampai ke hilir. Adapun hilir yang saat ini kita lewati, bisa jadi adalah hulu yang lain untuk aliran selanjutnya. Bagitu pula dengan hulu yang sekarang merupakan kelanjutan dari hilir sebelumnya.
Bagi saya, Natal adalah momen saya kembali berada di hulu. Saat saya mengalami pemulihan dan terlahir kembali. Namun sebelum terlahir kembali itu saya harus ‘mematikan diri’ terlebih dulu supaya bisa menjadi manusia yang baru dengan meninggalkan manusia yang lama. Setelah ‘kematian’ itu maka sudah seharunya saya memulai hulu yang baru, dan berjalan menuju hilir. Melewati tiap proses yang Dia berikan, supaya saya menjadi pribadi yang semakin ‘serupa’ dan ‘segambar’ dengan Dia.
Sekarang saya tak lagi heran dan merasa ambigu dengan lagu tersebut. Bagi saya dinyanyikan saat Natal atau Paskah tetap sama saja.
Jadi, selamat Natal untuk semuanya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H