Lihat ke Halaman Asli

Elisabeth Murni

TERVERIFIKASI

dream - journey - discover

Menata Hati Sejenak di Ganjuran

Diperbarui: 3 Maret 2016   18:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12931813741263004296

 

[caption id="attachment_81602" align="aligncenter" width="512" caption="Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran (Jogjatrip Collection, photo by mas Aam)"][/caption] Rabu sore di awal bulan, saat sinar mentari mulai lindap di balik pucuk-pucuk pinus yang terus bergoyang menyambut senja, saya menapakkan kaki di tempat itu. Ini entah kali keberapa saya datang kesana, dan selalu saja saya mendapatkan sesuatu yang berbeda. Kali ini saya datang berdua dari Utara, menyusuri jalanan yang dipenuhi orang-orang bersepeda sehabis pulang kerja. Dalam letihnya mereka terlihat begitu bahagia karena akan segera bertemu dengan senyuman keluarga. Sedangkan saya masih saja muram merutuki segala sesuatu yang terjadi belakangan ini.

“Saya butuh rehat, menenangkan diri, dan kontemplasi,” itu kata saya beberapa waktu lalu pada seorang sahabat. “Kamu perlu bertemu dan bercakap denganNya mbak,” jawabnya. Hal itulah yang akhirnya membuat saya berada di tempat ini sekarang. Bukan, ini bukan karena saya menganggap Tuhan hanya ada di tempat ini, saya percaya Tuhan ada di mana-mana, tapi kali ini saya memang ingin melepas penat sejenak di rumahNya yang unik dan menenangkan itu.

Tempat itu adalah Gereja Ganjuran, sebuah tempat peribadatan umat Katolik yang terletak di bilangan Selatan Yogyakarta, tepatnya berada di dusun Kaligondang, Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul. Gereja ini merupakan salah satu gereja berusia tua yang ada di wilayah DIY, dibangun oleh warga keturunan Belanda, Smutzer bersaudara yang kala itu menjadi pengelola pabrik gula Gondang Lipuro.

Gereja yang telah dibangun sejak tahun 1924 ini memang menyajikan pesona tersendiri, sehingga selalu mengingatkan siapapun yang pernah berkunjung kesini untuk kembali lagi suatu saat nanti. Gereja Ganjuran bukanlah gereja biasa saja. Tempat ini terlihat seperti wilayah akulturatif, di mana terdapat simbol perpaduan berbagai budaya. Siapapun yang berkunjung ke tempat ini akan menemukan perpaduan arsitektur Eropa, Hindu, Budha, dan Jawa.

Dengan gereja yang berbetuk pendopo terbuka dan altar utama yang berdesain Jawa, Gereja Ganjuran menyiratkan sebagai tempat yang terbuka bagi siapa saja sekaligus membuka diri bagi orang lain. Di tempat yang dikelilingi pohon pinus ini, siapa orang tanpa memandang kasta, tahta, maupun harta boleh bersama-sama memasuki tempat itu untuk memuji dan menyembahNya.

Sayapun larut dalam keheningan senja. Ini bukanlah sebuah liburan, melainkan perjalan spiritual saya untuk menemukan lagi jati diri. Perjalanan saya berziarah menyusuri masa lalu dan merenungkan setiap detil peristiwa yang pernah saya lewati. Boleh dibilang ini adalah perjalanan untuk mendapatkan energi baru, sebelum saya berdiri di tahun mendatang dengan semua badai yang mungkin muncul.

Tak jauh berbeda dengan biasanya, kali ini saya memilih untuk bersimpuh di depan candi. Candi yang diberi nama Candi Hati Kudus Yesus Kristus ini merupakan satu lagi bentuk akulturasi dengan budaya Budha. Di candi ini terdapat arca Yesus dengan mengenakan pakaian dan mahkota raja Jawa. Siapapun yang ingin berdoa di dalam candi wajib membasuh kaki di 9 pancuran yang dikenal dengan nama pancuran tirta perwitasari. Air yang mengalir dari pancuran ini juga dipercaya mampu memberikan kesembuhan bagi siapapun yang meminumnya.

Di kanan candi terdapat jalur jalan salib dengan beberapa perhentian yang ditandai dengan stasi. Sedangkan tak jauh di depan candi terdapat pendopo terbuka yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Pendopo ini merupakan bangunan gereja darurat pada saat terjadi gempa dan masih dipertahankan saat ini. Sekarang pendopo ini biasa digunakan sebagai tempat misa kamis malam. Sekali waktu saya pernah ikut misa disini. Kala itu berhubung kamis pertama di awal bulan maka jumlah umat membludak sehingga banyak yang duduk beralakan Koran. Saya salah satunya. Beribadah beratapkan langit malam dengan angin yang sesekali berhembus merupakan pengalaman yang tak pernah terlupa. Apalagi saat itu purnama menjelang, sehingga sinar bulan membias melalui pucuk-pucuk pinus.

Rabu malam itu saya kembali lagi merasakan magi tersendiri. Saya bertemu denganNya dalam keheningan. Saya meluruh, saya merapuh. Dan perjalan ini akhirnya mampu menyadarkan saya. Bahwa saya harus menatalkan diri, saya harus terlahir kembali menjadi manusia baru guna mampu menapaki hari-hari mendatang. Terlahir kembali dengan jiwa baru, dengan semangat baru, dengan kekuatan baru.

Saya bersyukur akhirnya saya kembali tercerahkan. Bergegas saya pun bersiap kembali ke Utara. Lamat-lamat suara gamelan yang dimainkan oleh para pengrawit yang sedang berlatih untuk misa esok minggu terdengar. Gamelan itu seolah menjadi simfoni bagi jiwa yang baru. Saya meninggalkan Ganjuran dengan senyuman.

Ceceran kisah beberapa waktu lalu yang belum sempat tercatat (Yogyakarta, penghujung 2010)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline