Dalam historiografi kemerdekaan Indonesia dan masa-masa revolusi sesudahnya terdapat dua sudut pandang yang diametral. Sudut pandang pertama mengasumsikan bahwa proses sejarah yang mengalir didominasi oleh peran kaum “politisi tua” yang dimotori tokoh-tokoh eks pergerakan nasional. Alur historiografi ini berawal dari studi Kahin yang cukup monumental.
Sudut pandang yang kedua dikemukakan oleh Benedict Anderson dalam The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1946. Secara kontroversial, Anderson menempatkan pemuda pada posisi dominan dalam sejarah perjuangan Indonesia. Tesis ini dikuatkan oleh John D. Ledge dalam The Following of Sjahrir. Secara simplikatif, bahkan, aliran behavioral dalam sejarah politik pernah berkomentar dengan nada berkelakar bahwa “Soekarno dan Hatta tidak akan pernah memproklamirkan kemerdekaan seandainya mereka tidak diculik dan disimpan di Rengasdengklokoleh para pemuda saat itu”.
Terlepas dari perdebatan tersebut, realitas historis memang telah menunjukkan bahwa perkembangan kehidupan kebangsaan di Nusantara tidak pernah sepi dari peranserta kaum muda. Dalam hal ini perlu diingat bahwa keterlibatan para founding fathers seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain juga diawali dari perjuangan masa mudanya dalam merintis persatuan dan kesatuan melalui organisasi-organisasi yang didirikannya.
Demikian pula bila kita flashback ke lintasan sejarah sebelunya, menengok kiprah generasi “Soempah Pemoeda” sebagai pelopor awal lahirnya semangat nasionalisme dan kebangsaan. Statemen Sumpah Pemuda tentu bukanlah kata-kata kosong yang muncul dengan sendirinya. Akan tetapi, secara historis merupakan konsensus suatu generasi yang lahir lewat proses sejarah yang panjang. Hal ini akan tampak dengan jelas apabila menyimak potret sejarah pergerakan kaum muda Indonesia yang merupakan bagian integral dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada umumnya.
Pergerakan kaum muda di Indonesia diawali dengan munculnya organisasi-organisasi yang didasarkan atas sentimen-sentimen tertentu, baik sentimen keagamaan, golongan, maupun kesukuan atau kedaerahan. Sebagai contoh dapat disebutkan di sini, misalnya Jong Islamiten Bond, Perhimpunan Pemuda Budhis, Sekar Rukun, Angkatan Muda Kereta Api di Bandung, Jong Java, Jong Sumatraen Bond, Jong Celebes, dan masih banyak organisasi lainnya. Meskipun organisasi-organisasi ini telah bergerak menentang kolonialisme, namun gerakan-gerakan mereka masih didasarkan atas kepentingan-kepentingan yang bersifat primordialitas.
Angin segar mulai berhembus ketika sebagian besar organisasi pemuda tersebut hadir dalam Kongres Pemuda Indonesia I di Jakarta pada tanggal 30 April-2 Mei 1926. Sebagai suatu rangkaian sejarah, kongres ini dianggap penting, karena secara langsung maupun tidak langsung banyak memotivasi dan mengilhami kegiatan-kegiatan kaum muda saat itu. Terbentuknya Jong Indonesia pada tanggal 31 Agustus 1926 merupakan salah satu bukti yang memperkuat asumsi ini.
Sebagai follow up dari kongres tersebut, pada tanggal 26-27 Oktober 1928 diselenggarakan Kongres Pemuda Indonesia II. Kongres ini merupakan tonggak sejarah baru bagi perkembangan pergerakan kepemudaan dan pergerakan nasional umumnya. Dalam kongres ini para pemuda berhasil mencetuskan ikrar Sumpah Pemuda –sebagai kebulatan tekad bangsa Indonesia—yang sekaligus mendobrak sentimen-sentimen primordialitas untuk mewujudkan cita-cita perjuangan, satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa persatuan, dan satu tekad: Indonesia Merdeka ! Fenomena Sumpah Pemuda ini merupakan cikal bakal eksistensi bangsa, karena dalam ikrar itu tercermin komitmen baru bangsa Indonesia tentang persepsi tanah air, kebangsaan, dan integritas kebahasaan secara nasional.
Semenjak ikrar Sumpah Pemuda itu, pergerakan kaum muda lebih menunjukkan kejelasan visi dan orientasinya. Hal ini antara lain terlihat dengan diadakannya fusi antara organisasi-organisasi pemuda seluruh Indonesia pada tanggal 24-28 Desember 1928. Aktivitas ini pun berlanjut dengan diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia III di Yogyakarta pada tanggal 15 Juli 1938. Kongres ini antara lain menghasilkan kesepakatan untuk membentuk gabungan organisasi kepemudaan yang kemudian menjadi Persatuan Pemuda Indonesia (Perpindo).
Secara historis, rangkaian peristiwa tersebut merupakan momentum sejarah yang tak terpisahkan dari perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam bahasa Anderson, kemerdekaan Indonesia itu bahkan disebutnya sebagai suatu “pemuda revolution”.
Lantas bagaimana semangat itu dikonkretisasi dan diaktualisasikan dalam konteks kekinian? Era reformasi sungguh telah melahirkan sejumlah tantangan yang sekaligus peluang serta harapan baru bagi kaum muda untuk berkiprah. Sejumlah persoalan bangsa kini menanti peran nyata kaum muda. Kemiskinan, pengagguran, keterpurukan, degradasi moral, korupsi, konflik sosial, dan sejumlah persoalan yang kian menumpuk. Mampukah kaum muda tampil di garda depan menjawab tantangan zaman? Kini saatnya merefleksikan kembali semangat “Sumpah Pemuda” dalam konteks sejarah kekinian.* sasgart@yahoo.com
·Foto merupakan hasil kompilasi dari cuplikan video clip "Vonis" yang dinyanyikan oleh Simponi (Sindikat Musik Penghuni Bumi).
·Link tulisan: http://www.demosindonesia.org/laporan-utama/4772-kaum-muda-dalam-pentas-sejarah-bangsa.html
Lihat: Kahin, G. Mc., Turnan, 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca.
Legge D, John, 1968. The Following Sjahrir, ibid.
Anderson, 1967. “The Pemuda Revolution: Indonesia Politics 1945-1946” Ph.DDisertation, Cornell University Press, Ithaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H