“Bohong, kalau penjara itu dapat mengubah perangai seseorang …” (Phil Dickens)
Menjelang 23 Juli yang sering diperingati sebagai Hari Anak Nasional, kita diingatkan bukan saja dengan ragam keceriaan anak Indonesia dalam aneka bentuknya. Namun kita juga masih terus dihadapkan pada setumpuk persoalan anak yang kian menyesakkan. Data Ditjen Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) menunjukkan tingginya angka kriminalitas pada kelompok usia 8-18 tahun. Tingginya angka pelaku kejahatan pada kelompok usia ini tentu akan berimplikasi pada makin besarnya jumlah anak yang akan masuk dalam proses pengadilan yang berujung di penjara. Bayangkan, menurut data Depkumham hingga Februari 2011 tercatat 57 persen dari 4.767 anak ditahan di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan untuk orang dewasa. Alih-alih ingin menyadarkan anak yang bermasalah, penjara justru menjadi ‘tempat berlatih’ yang efektif bagi anak untuk meningkatkan kreatifitas kriminalnya. Benarlah apa yang diungkapkan Dickens: “The idea that prisons serve to reform criminals is a nonsense.” Di sisi lain, beragam tindak kejahatan yang dilakukan anak dipandang bukan suatu ”kejahatan murni” karena perbuatan yang dilakukan anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri secara mandiri. Dalam banyak kasus, tampak jelas bahwa anak sebagai pelaku kejahatan acapkali juga sekaligus sebagai korban. Anak yang menjadi pelaku kejahatan seringkali menjadi korban lingkungan terdekatnya, korban ketidakberdayaan, dan bahkan menjadi korban dari sebuah sistem yang mengabaikannya. Karena itu, pengadilan hendaknya bukan menjadi jalan satu-satunya untuk menangani persoalan anak yang sedang bermasalah dengan hukum. Dalam konteks ini, penanganan anak yang bermasalah dengan hukum melalui pendekatan keadilan restoratif dapat menjadi alternatif. Hal ini sejalan dengan prinsip yang termuat dalam Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) yang telah lama diratifikasi melalui Keppres No.36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak dan kemudian dikukuhkan lagi dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam kedua peraturan itu tampak jelas adanya upaya untuk melindungi anak yang bermasalah dengan hukum, khususnya menyangkut prinsip “The Best Interest of The Child” dimana pemidanaan anak sebaiknya diposisikan sebagai opsi terakhir.
Mempromosikan Keadilan Restoratif Pendekatan keadilan restoratif dalam paradigma peradilan sejatinya bukan suatu pendekatan baru. Bazemore dan Schiff (2005) menyebutkan bahwa pendekatan restoratif dalam peradilan, terutama dalam peradilan anak sudah mulai mengglobal. Menurutnya, pendekatan ini sudah mulai banyak dipilih karena terbukti mampu menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif. Pavlich (2002) bahkan menyebutkan bahwa keadilan restoratif pada dasarnya bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Sementara Wright (1992) menjelaskan bahwa konsep keadilan restoratif pada dasarnya sederhana. Menurut Wright, ukuran keadilan tidak lagi dilekatkan pada soal “balasan setimpal’ dari korban kepada pelaku, baik secara fisik, psikis atau hukuman, namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab. Dalam konteks Indonesia, Bagir Manan (2008) menyebutkan bahwa konsep dan prinsip keadilan restoratif sebenarnya telah lama dipraktekan oleh sejumlah masyarakat adat di Indonesia. Karena itu, upaya untuk menjadikan pendekatan ini sebagai model alternatif dalam penanganan persoalan pidana anak sangat prospektif, artinya tinggal memodifikasi dari praktik-praktik yang secara konvensional sudah ada dan berkembang di sejumlah tempat di Indonesia. Prinsip keadilan restoratif kini memang sedang banyak didorong untuk penanganan kasus anak yang bermasalah dengan hukum. RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang kini sedang dirancang pemerintah dan DPR konon katanya akan banyak mengakomodasi prinsip ini. Di level eksekutif bahkan telah ada MoU yang lebih dikenal sebagai “SKB Ramah Anak” yang merupakan Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia untuk mendorong upaya ini. Namun demikian, hadirnya “SKB Ramah Anak” ini ternyata tidak serta-merta menuntaskan persoalan anak yang bermasalah dengan hukum. Faktanya, sejak SKB itu ditandatangani 22 Desember 2009, pemidanaan dan pemenjaraan anak masih saja terus berlangsung menjadi modus dominan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Belum efektifnya implementasi SKB ini setidaknya terkait dengan tiga hal. Pertama, masih adanya perbedaan pemahaman diantara stakeholders seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), dan BAPAS mengenai hukum pidana anak. Kedua, masih kurangnya sosialisasi dan lemahnya koordinasi kelembagaan terkait model keadilan restoratif sebagai alternatif model penanganan kasus anak yang bermasalah dengan hukum sebagaimana disebutkan dalam SKB itu. Ketiga, masih lemahnya pemahaman dan dukungan publik untuk turut mendorong upaya-upaya restoratif dalam penanganan persoalan ini. Pentingnya Pengawalan Bersama Secara legal formal, jaminan perlindungan anak secara umum memang telah tertuang dalam beberapa perundangan, antara lain dan terutama Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945, KUUHP, Keppres No.36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Demikian halnya mengenai pidana anak, telah ada payung hukumnya secara spesifik meskipun hingga kini masih dinilai problematik. Masalahnya, payung hukum pidana anak kini masih menggunakan UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Padahal, sejak lama banyak pihak menilai undang-undang ini memiliki sejumlah kelemahan, terutama menyangkut klausul yang dianggap melanggar hak-hak anak, seperti masih diakuinya penempatan narapidana anak di tahanan orang dewasa sehingga rawan tindak kekerasan terhadap anak. Kini, dorongan untuk melakukan pembaruan sistem peradilan anak semakin menguat. Wacananya bahkan bukan saja sebatas melakukan revisi Undang-Undang Pengadilan Anak, namun tekanannya pada upaya perubahan mendasar mekanisme pidana terhadap anak. Beberapa pihak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan sejumlah LSM peduli anak terus mendorong agar proses peradilan anak tidak lagi diselesaikan melalui mekanisme hukum formal di pengadilan yang berujung pada pemenjaraan anak. Argumennya, penjara bukan solusi untuk menanganai anak yang berhadapan dengan hukum. Beberapa hasil penelitian bahkan menunjukkan bahwa sebagian besar narapidana anak akan mengulangi perbuatannya (reconvicted) dalam waktu 1-2 tahun setelah mereka keluar dari penjara. RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang diproyeksikan akan menggantikan Undang Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak tidak lama lagi akan dibahas di DPR. Pihak pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tampaknya optimis RUU ini akan segera tuntas pembahasannya sehingga tahun ini juga akan diundangkan. Beberapa perubahan substantif yang diatur dalam RUU ini antara lain mengenai Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang diproyeksikan sebagai penempatan anak yang menjalani proses peradilan. Hal lain yang cukup mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi, yaitu upaya yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Melalui pendekatan keadilan restoratif, anak yang berhadapan dengan hukum dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar melalui suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait suatu tindak pidana secara bersama-sama dengan menekankan pada upaya pemulihan serta memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab. Beberapa point penting perubahan dalam RUU itu tampaknya cukup responsif dalam mengakomodasi berbagai tuntutan perbaikan substansi peradilan anak selama ini, meskipun sebagian pihak menilainya masih dalam taraf moderat. Namun demikian, apapun isi dan substansi RUU yang ada sekarang, proses pembahasannya nanti di DPR tentu masih menyisakan tanda tanya besar, unpredictable. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dalam pembahasan RUU itu. Bahkan, skenario munculnya kemungkinan terburuk pun harus dipersiapkan antisipasinya. Karena itu, proses legislasi itu tidak semestinya diserahkan sepenuhnya pada mekanisme legislasi formal di Senayan. Tetap diperlukan pengawalan bersama, agar RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan segera ‘diketok-palu’ itu tidak menjadi alat penjerat yang akan merenggut hak-hak anak, namun benar-benar berpihak pada anak, pemilik masa depan negeri ini. (sasgart@gmail.com).***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H