Lihat ke Halaman Asli

Sofian Munawar

PENDIRI Ruang Baca Komunitas

Demokrasi dan Politisasi Korupsi

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13667673901236013483

[caption id="attachment_249728" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: google image"][/caption]

Politisasi korupsi sungguh telahmenjadi salah satu penyebab mengapa para koruptor

di negeri ini seolah tak tersentuh dan sulit dieksekusi”.

Simaklah berita media setiap hari, akan tampak dengan jelas bahwa tidak ada hari tanpa berita korupsi. Entah di media elektronik seperti televisi, radio, internet, maupun di berbagai media cetak. Menjamurnya berita seputar korupsi setidaknya menjadi penanda dua hal. Pertama, praktik korupsi telah dianggap sesuatu yang lumrah dan bahkan dianggap sebagai budaya. Kedua, menunjukkan lemahnya penanganan tindak korupsi sehingga fenomena korupsi seolah tidak ada ujung pangkalnya. Saat pengungkapan satu kasus belum tuntas, puluhan kasus korupsi lainnya mencuat, demikian seterusnya ... Tak heran jika kemudian muncul sebuah adagium: ”Pemberantasan korupsi bergerak menurut deret hitung, sementara tindakan korupsinya sendiri terus mencuat menurut deret ukur. Pertanyaan fundamentalnya kemudian mengapa praktik korupsi sulit dibasmi?

Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio yang berarti busuk atau rusak. Dalam padanan kata kerjanya, korupsi atau corrumpere juga dapat berarti menggoyahkan, memutar-balik, atau menyogok. Karena itu, Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal berusaha memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sementara itu, sosiolog Syed Hussein Alatas (1987) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Esensinya adalah bahwa korupsi merupakan pencurian yang dilakukan melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Adapun Mark Phillip memberikan tiga definisi berdasarkan orientasinya, yaitu public office-centered,public interest-centered, dan market-centered. Definisi public office-centered memandang korupsi sebagai tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik untuk kepentingan pribadi. Definisi public interest-centered melihat korupsi sebagai perilaku yang merugikan kesejahteraan publik. Sedangkan definisi market-centered berdasar pada penggunaan metode ekonomi dalam analisis politik, dimana korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pejabat publik untuk memperoleh pendapatan ekstra dari publik.

Adalah John Girling (2000) yang mencoba membuat kategorisasi korupsi berdasarkan luas penyebarannya. Pertama, model insidental-individual, yaitu model korupsi yang dilakukan oleh individu tertentu pada suatu lingkungan atau lembaga dimana sebenarnya lingkungan atau lembaga itu relatif bersih dalam hal korupsi. Kedua, model institusional atau kelembagaan, yakni apabila korupsi melanda suatu lembaga atau suatu sektor kegiatan tertentu dimana sebenarnya keseluruhan sektor atau lembaga secara lebih luas tidak korup. Ketiga, model sistemik-sosial dimana praktik korupsi sudah menyerang seluruh lapisan masyarakat serta sistem sosial-kemasyarakatan secara meluas sehingga sering juga disebut sebagai ”korupsi sistemik” dimana tindak korupsi sudah mempengaruhi secara kelembagaan dan mempengaruhi perilaku individu pada semua tingkatan sosial, ekonomi, dan sistem politik dan bahkan telah dijadikan ”model transaksi” serta politisasi secara terorganisasi.

Kategorisasi model korupsi itu setidaknya dapat menjelaskan rumitnya penanganan korupsi di negeri ini. Di level societal, sikap permisif sebagian masyarakat tanpa sadar telah turut mendorong membiaknya tindak korupsi. Masyarakat seolah tak berdaya dan akhirnya seakan menerima fenomena korupsi sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar adanya. Sementara para koruptor sendiri secara personal masih tampak jumawa, tanpa merasa hina ia masih bisa menebar senyum sana-sini di layar kaca. Fenomena ini tentu merupakan suatu yang ironis dan menjadi salah satu penyebab rumitnya penanganan korupsi yang seolah telah dikesankan sebagai suatu intrinsic nature yang sulit diberantas selain soal mentalitas yang ”selalu merasa kurang” (unsatiable mentality).

Pada level kelembagaan yang melahirkan model ”korupsi sistemik”, fenomenanya lebih gila dan lebih rumit lagi. Meski secara legal-formal telah dibuat beragam peraturan mulai dari Undang-undang hingga peraturan pelaksanaannya, bahkan telah diperkuat dengan beberapa Instruksi Presiden (Inpres) dan Keputusan Presiden (Kepres) dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, namun nyaris tak mampu mengubah situasi. Hingga kini, tidak kurang dari sepuluh produk hukum yang dibuat dalam rangka pemberantasan korupsi. Sebut saja, misalnya Undang Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelengga Negara yang Bersih dan Bebas KKN, Undang Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, PP No.65 dan No. 66 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan serta PemberhentianAnggota Komisi Pemeriksa Korupsi, dan aturan pelaksana lainnya.

Namun demikian, alih-alih melakukan pemberantasan korupsi secara massif, kondisi yang terjadi malah justru sebaliknya. KPK sebagai garda depan pemberantasan korupsi justru seakan dilemahkan. DPR sebagai lembaga terhormat yang semestinya melakukan pengawasan justru menjadi sarang korupsi paling memalukan. Bahkan, ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono berkoar-koar menyatakan perang terhadap korupsi, misalnya, Partai Demokrat justru kebakaran jenggot dengan ulah Nazaruddin dan sejumlah petinggi partai lainnya. Kondisi ini seakan menyempurnakan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah –baik di level eksekutif, yudikatif maupun legislatif– pasca tidak jelasnya penuntasan beragam kasus korupsi yang sambung-menyambung dari Century-Gayus-Nunun-Nazaruddin dan praktik korupsi lainnya yang nyaris tak terhitung. Pantaslah kalau hasil survey Cluster For Security and Justice (2010) menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan lembaga peradilan merupakan lembaga terkorup, selain tentu saja birokrasi pemerintah. Celakanya lagi, diantara mereka terlibat upaya ”main-mata”, melakukan politisasi kasus korupsi untuk saling mengunci sekaligus mengamankan posisinya masing-masing. “Politisasi korupsi sungguh telah menjadi salah satu penyebab mengapa para koruptor di negeri ini seolah tak tersentuh dan sulit dieksekusi”.

Sulitnya upaya pemberantasan korupsi mungkin ibarat bermain puzzle yang entah darimana harus memulainya. Namun tentu bukan sesuatu yang mustahil membereskannya, pun apalagi tidak harus membuat kita frustasi menghadapinya. Dalam konteks ini, demokrasi sejatinya akan cukup menjadi katup pengaman untuk menghindari praktik korupsi. Transparansi dan akuntabilitas sebagai sokoguru demokrasi pasti dapat menjadi penawar sekaligus penangkal lahirnya orde korupsi yang disemai di atas budaya ketertutupan dan kebohongan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita mampu melahirkan orde demokrasi sejati ditengah menguatnya kembali rezim oligarki? @sofianasgart

1366767479771433265

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline