Lihat ke Halaman Asli

Sofian Munawar

PENDIRI Ruang Baca Komunitas

Melawan Politik Kartel

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13667240261894164399

[caption id="attachment_249577" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: google image"][/caption]

Indeks Prestasi penanganan korupsi Indonesia ibarat tali kolorJ yang terus mlorot. Ini bukan saja menurut pandangan para pegiat anti-korupsi, namun diakui sendiri oleh Presiden SBY. Meskipun dalam berbagai sambutannya presiden mengaku akan terus berada di garda terdepan dalam upaya memerangi korupsi, namun nyatanya, justru orang-orang terdekatnya malah turut terlibat skandal korupsi. “Sahabat kami dari Partai Demokrat juga terkena limbah mengenai korupsi,” aku SBY dalam sebuah pidato beberapa waktu lalu.

Mengapa praktik korupsi dan kolusi kian menggurita? Salah satu penyebabnya adalah kartel politik dan oligarki kekuasaan yang sulit lepas dari budaya-kuasa kita. Kartel, sebagaimana juga oligarki kekuasaan sejatinya merupakan penyakit lama yang menjadi salah satu musuh besar demokrasi. Ini antara lain dicirikan ketertutupan rezim yang sekaligus mempersempit selubung ruang representasi dan partisipasi publik. Kartel dalam banyak kasus seringkali mengejawantah pada makin menyempitnya ruang partisipasi publik karena kartelisasi selalu berupaya mengatur arus politik untuk tujuan ekonomi-politik yang dipelihara melalui persekongkolan kelompok oligark, baik antara kelompok-kelompok politik tertentu maupun dan terutama persenkongkolan antara pengusaha dan penguasa dalam rangka melanggengkan kekuasaannya.

Sejumlah kasus mutakhir di tanah air menunjukkan betapa praktik kartel politik bukanlah sinyalemen belaka. Kasus Century, Gayus, dan Nazaruddin, tentu bukan sebatas korupsi biasa yang bersifat personal. Macetnya penuntasan perkara-perkara itu mengindikasikan betapa di belakang sejumlah kasus tersebut mebelit saling-sengkarut ragam kepentingan dari banyak elit politik. Mereka saling memanfaatkan kesempatan sekaligus saling mengunci satu sama lain sehingga kondisi ini menyulitkan pengusutan dan penyelidikan secara tuntas. Tentu sangat banyak kasus lainnya yang dapat dikemukakan untuk memperpanjang contoh betapa suburnya praktek politik kartel di negeri ini.

Eva Kusuma Sundari, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan mengakui adanya praktek-praktek politik kartel di partai politik dan parlemen. Menurut Eva, praktek kartel dilakukan oleh semua partai tanpa kecuali. Karena itu dalam partai ada istilah “inner circle” dan “outer circle”. “Dengan fungsionaris partainya sendiri ada yang disembunyikan, apalagi dengan rakyat sebagai konstituen,” ujarnya. Demikian pula politik kartel yang terjadi di parlemen. Menurut Eva, meskipun diantara partai tampak bersaing, namun ketika ngomongin akses duit APBN rukun semua “Tidak ada pembedaan antara partai koalisi atau partai oposisi,” tambahnya.

Tidak saja di level legislatif, kartel politik juga terjadi di level eksekutif maupun yudikatif. Di level eksekutif, oligarki birokrasi juga kian menjadi-jadi, ini antara lain dicirikan dengan semakin koruptifnya situasi di sejumlah departemen, bahkan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan yang seharusnya menjadi ujung tombak perbaikan moral bangsa tak luput dari praktik ini. Kondisi yang buruk ini kini bahkan sudah mewabah ke birokrasi daerah seiring mewabahnya otonomi daerah. Sementara di level yudikatif, mafia peradilan menjadi contoh lain betapa praktik-praktik kartelisasi politik kian mengemuka bahkan menggurita dalam bentuk mafia peradilan. Sejumlah kasus penting lolos begitu saja dari jerat hukum, sementara kasus-kasus pinggiran muncul menjadi kosmetika politik secara massif. Lembaga pengadilan yang diidealisasikan sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan seringkali berubah wujud menjadi pasar kriminal sebagai ajang transaksi jual-beli perkara.

Ketika politik kartel membelenggu negeri ini, layakkah kita pesimis dan kemudian mengalah pada kondisi yang ada? Kuskrido Ambardi, penulis buku “Mengungkap Politik Kartel” (2009) masih menawarkan optimisme untuk melawan politik kartel. Menurut Ambardi, jika kita melakukan refleksi pada gerakan penumbangan rezim Orde Baru 1998, misalnya, tampak dimulai dari adanya penurunan partisipasi politik sejak Pemilu 1997, 1999, 2004, dan 2009. Penurunan angka partisipasi pemilih (registered voters turnout) dalam Pemilu menunjukkan meningkatnya kecerdasan politik masyarakat yang sekaligus menjadi sinyal “perlawanan diam-diam” agar partai politik mereformasi dirinya. Karena itu, penting dipikirkan upaya untuk “memproduksi” aktor-aktor pengimbang yang mampu melakukan counter atas dominasi parpol. Selain itu, upaya untuk mendorong reformasi kepartaian menjadi prasyarat lainnya agar manajemen partai politik menjadi profesional sehingga partai politik tidak terjebak menjadi interests of capital, pun apalagi menjadi “kartel garong” yang menguras uang negara secara semena-mena.* sasgart@demos.or.id

[caption id="attachment_249579" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: rimanews.com"]

13667240741041579687

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline