Lihat ke Halaman Asli

Sofian Munawar

PENDIRI Ruang Baca Komunitas

Pluralisme dan Krisis Kewargaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13667250751694183180

[caption id="attachment_249588" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: google image"][/caption]

Adalah Ernest Renan (1882) yang pertama kali mengemukakan konsep kebangsaan yang kini sering diacu banyak pihak. Menurut Renan, konsep kebangsaan setidaknya harus dilekatkan pada dua hal utama. Pertama, aspek historisitas berupa kesamaan nasib dan perjuangan masa lampau. Kedua, aspek solidaritas berupa keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble) di tengah beragam perbedaan yang ada. Kesamaan dan perbedaan dalam konsep kebangsaan ini ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Artinya, sebuah bangsa idealnya memiliki niat dasar yang sama sekaligus menyadari pluralitas, namun tetap dibarengi kehendak yang sama dari semua pihak untuk memelihara perbedaan yang dimilikinya dalam rangka menggapai tujuan bersama sebagai sebuah bangsa.

Pluralisme dengan begitu menjadi salah satu kunci pentingdalam membangun nilai-nilai kewargaan dalam konteks kebangsaan. Perbedaan bukanlah sesuatu yang akan memisahkan, sebaliknya pluralitas akan menjadi perekat persaudaraan kebangsaan (nation brotherhood). Dengan kata lain, dalam konteks kebangsaan, semua warga negara (citizen) dengan beragam asal-usul yang berbeda, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Inilah konsep dasar kewargaan (citizenship) yang dalam konteks kebangsaan kita sejatinya telah tercermin dalam semboyan indah: Bhineka Tunggal Ika.

Namun sayangnya, semboyan itu seringkali tidak seindah dalam implementasinya. Perbedaan yang semestinya menjadi mozaik indah yang mendewasakan kita sebagai bangsa, justru menjadi pemicu lahirnya beragam konflik. Betapa kita sering menyaksikan praktik-praktik intolerasnsi dan diskriminasi yang menciderai pluralisme kebangsaan. Serangkaian aksi kekerasan atas nama tafsir suatu agama, seringkali mengkoyak persaudaraan kita sebagai suatu bangsa. Dalam kaitan ini, Setara Institute melaporkan bahwa ada lebih dari 50 serangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Indonesia selama 2010 dan lebih dari 75 serangan terhadap umat Kristen. Fenomena ini menjadi contoh nyata krisis kewargaan yang mengancam semangat pluralisme di negeri ini.

Padahal, Pasal 29 UUD 1945 secara jelas dan tegas telah menjamin kemerdekaan tiap warganegara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Karena itu, amanat konstitusional ini seharusnya terejawantah secara tegas pada level kebijakan di bawahnya. Pemerintah harus memberikan penegasan bahwa secara legalistik formal, kebebasan beragama adalah hak sipil warganegara yang dijamin undang-undang. Sejalan dengan ini, Indonesia juga bahkan telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak sipil setiap individu yang dijamin negara. Selain itu, kebebasan beragama juga dijamin UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Atas dasar hukum positif tersebut sudah selayaknya negara memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan sipil warganya secara semestinya berbasiskan kesetaraan (equal citizenship). Namun menurut Masdar Hilmy (2011) formulasi indah di atas kertas itu ternyata tak seindah praktik di lapangan. Buktinya, negara sering kali mempertontonkan paradoks dan dualisme yang justru menganulir kebijakannya sendiri. Di satu sisi pranata hukum tertinggi menjamin kebebasan beragama, tetapi peraturan-peraturan di bawahnya malah membatasi kebebasan beragama. Di satu sisi negara menyatakan akan menindak tegas para pelaku kekerasan agama, tetapi di sisi lain kekerasan dibiarkan terjadi.

Menurut Hilmy, salah satu penjelasan mengapa negara sering memperlihatkan sikap paradoks dalam konteks kehidupan beragama karena kehidupan beragama masih jadi sandera politik-kekuasaan. Kegamangan negara seringkali didorong oleh kalkulasi politik untung-rugi, yang ujung-ujungnya adalah kapitalisasi suara dan dukungan politik. Dalam kondisi semacam ini, sulit menampik kenyataan bahwa kebebasan beragama hanya bekerja pada tataran basa-basi politik (political gimmick), sementara di tingkat praksis kita menghadapi persoalan yang sangat serius.

Temuan riset Demos (2009 dan 2010) mengkonfirmasi situasi itu. Di tengah meningkatnya kebebasan sipil-politik pasca reformasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan tampaknya masih tersandera. Krisis kewargaan masih terjadi, terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek primordialitas seperti sentimen keagamaan, kedaerahan, dan etnisitas. Kondisi ini terjadi terutama dalam situasi-situasi khusus seperti dalam konteks Pilkada serta situasi konflik yang disebabkan oleh tekanan sosial ekonomi, dan politik.Hal ini dapat disimak pada bagan berikut.

Dalam konteks Pilkada, identifikasi warga lebih banyak didominasi oleh sentimen kedaerahan dan kesukuan (etnisitas). Sementara dalam situasi konflik, warga lebih banyak mengidentifikasi dirinya sebagai anggota komunitas etnis dan kelas sosial tertentu. Dalam dua situasi itu, sentimen keagamaan memang tidak menjadi identifikasi kewargaan yang paling dominan. Namun demikian, dalam realitasnya di lapangan, identifikasi keagamaan seringkali tumpang-tindih dengan identifikasi primordialitas lainnya seperti etnisitas dan kedaerahan sehingga tetap menyimpan potensi ancaman yang perlu diantisipasi atas munculnya krisis kewargaan yang mengancam pluralisme dan kebhinekaan.* sasgart@demos.or.id

[caption id="attachment_249589" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: google image"]

13667251231421442939

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline