[caption id="attachment_249731" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: google image"][/caption]
Sofian M. Asgart
Aku terperanjat dikagetkan alarm HP-ku yang nyaring berdering-dering. Pukul 07.00 tepat! Itu artinya aku harus segera berkemas, bergegas menjalani rutinitas. Sebetulnya aku masuk kerja pukul 09.00, namun dari Kramat Sentiong tempatku kost menuju kantorku di bilangan Sudirman kadang butuh waktu tempuh lebih dari satu jam. Jaraknya sih sebenarnya tak seberapa jauh, tapi kemacetan seringkali menyuguhkan ketidakpastian. Kemacetan di Jakarta seolah telah memperpanjang jarak suatu tempat dengan tempat lainnya. Apalagi jika musim hujan tiba, kemacetan pasti kian menggila membuat pusing kepala. Kepusinganku lantas berlipat-lipat manakala bis kota yang kutumpangi penuh sesak. Bukan saja dipenuhi manusia yang berlumur keringat, tapi juga dipenuhi kepulan asap dari para perokok yang tak tahu diri. Karena itu pula, kini aku lebih nyaman naik Busway yang dijamin bebas asap rokok, meskipun sama juga harus berjubel-jubel.
Menurutku, Buswaysebenarnya bukan istilah yang tepat untuk menyebut genre baru angkutan publik itu. Dari makna harafiahnya saja, Buswayitu ’kan artinya cuma ’jalur bis’. Namun nyatanya, masyarakat termasuk aku lebih suka memilih istilah yang salah kaprah iniketimbang menyebut nama resminya yang benar: Bus Trans-Jakarta! Akh, persetan pula dengan nama itu atau meminjam istilahnya William Shakespeare, Apalah arti sebuah nama … Namun yang pasti, dari hari ke hari aku makin mencintai kendaraan yang satu ini. Buswaykini menjadi pilihan favoritku, meski aku harus rela berjubel-jubel dan dengan rute tempuh ke kantorku yang tak fleksibel.
Kegandrunganku pada Busway bukan semata karena kendaraan itu bebas asap rokok. Pun apalagi bukan karena service-nya yang cuma pas-pasan itu. Namun harus ku akui bahwa alasan utamanku memilih Busway adalah karena adanya pengharapan atas sebuah pertemuan yang menggairahkan. Ini kedengarannya sangat bombastis, kenes, dan bahkan terkesan mengada-ada. Namun itulah sejujurnya perasaanku. Sejak enam bulan lalu, hatiku selalu tertambat pada seorang pria hitam manis berkumis tipis yang ku jumpa secara tak sengaja di Halte UI Salemba. Sejak itulah aku selalu bergairah, hatiku berbunga-bunga saat berada di Halte penuh pengharapan itu.
Halte UI Salemba antara pukul 7.20 - 7.50 merupakan momentum paling menegangkan sekaligus menggairahkan. Pada saat-saat itulah pria hitam manis berkumis tipis itu selalu kulihat di pojok ruang tunggu. Ada desiran perasaan yang sulit kuungkapkan. Perasaan itulah sejujurnya yang membuatku merasa nyaman, merenda hari demi hari dengan sejumlah pengharapan. ”Suatu hari nanti, pria hitam manis berkumis tipis itu akan mengajakku berkenalan,” kataku bergumam. Di Halte UI Salemba antara pukul 7.20 - 7.50, pria hitam manis berkumis tipis itu sungguh merupakan oase tersendiri bagiku. Aku sebenarnya tak habis pikir, kenapa pria hitam manis berkumis tipis itu begitu menyita perhatianku, meskipun sebenarnya ia tampak biasa-biasa saja. Seringkali aku mencoba mencuri pandang. Saat-saat seperti itu pula yang kumanfaatkan untuk melihat detil dirinya: potongan rambutnya yang klasik, stelan bajunya yang sederhana, alis-matanya, kumisnya, bibirnya, dan detil lainnya yang bisa secara cepat kucuri-pandang. Adakah dia juga punya perhatian yang sama padaku? Sungguh aku tak mampu berandai-andai menjawabnya.
Enam bulan sudah aku memendam harapan dan setumpuk rasa penasaran. ”Siapakah gerangan namanya?” ”Dimanakah alamatnya?” ”Nomor HP-nya?” ”Apa pekerjaannya?” ”Masih single kah?” dan sederet pertanyaan lain yang terus mengganggu, berkecamuk dalam hati. Namun harapan dan rasa penasaran itu selalu layu diterkam gemuruh kota yang bising dan sibuk. Harapan dan setumpuk rasa penasaran itu selalu saja menguap saban pagi, ditelan laju Busway yang hilir-mudik silih berganti. Kadang rasa frustasi datang menyergap, tapi harapan dan rasa penasaran pada pria hitam manis berkumis tipis itu tak pernah mati, selalu saja tumbuh dan tumbuh lagi saban hari, di Halte UI Salemba, antara pukul 7.20 - 7.50 pagi. ”Sampai kapan aku harus menunggu … Ya Tuhan, beri aku kesempatan untuk berkenalan dengan si hitam manis berkumis tipis itu,” ujarku bergumam penuh harap.
Sebenarnya, kesempatan baik itu bukan tak pernah datang. Hanya saja aku seringkali ragu dengan kesempatan yang kumiliki sehingga membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja. Berkali-kali aku berkesempatan duduk bersebelahan dengan pria hitam manis berkumis tipis itu. Ingin rasanya aku memulai mengajaknya berkenalan. Namun, lidahku selalu kelu. Rasa malu mendadak menderu-deru. ”Nina, kamu itu perempuan! Tak pantaslah bersikap agresif seperti itu …,” demikian bisikan jiwaku yang terus terngiang di telingaku, membuyarkan hasrat dan harapanku. Kadang aku berpikir, mungkin para aktivis perempuan yang progresif dan radikal pun mengalami kegundahan jiwa serupa denganku. Ia bisa saja tampak tegar meneriakkan soal emansiapasi, kesetaraan, dan nilai-nilai kebebasan lainnya di ranah publik. Namun di ranah privatnya, ia tetap merasa sebagai makhluk kelas dua. Ia, barangkali tak kuasa mengalahkan suara hatinya yang terbelenggu dan terkooptasi kultur dan lingkungan yang paternalistik. Inikah suratan takdir kaum perempuan: harus menunggu … nrimo ing pandum! Benarkah kekuatan terbesar yang dimiliki perempuan itu adalah kesabarannya?
Kesabaranku mungkin tak akan habis. Aku akan rela menunggu sampai kapan pun hingga pada suatu waktu harapan dan setumpuk penasaranku pada si hitam manis berkumis tipis itu terjawab. Sungguh aku tak ragu dengan kesabaran yang kumiliki, namun yang mulai aku ragukan adalah apakah pria itu punya perhatian khusus padaku dan apakah ia juga akan punya keberanian untuk memulai menyapaku? Pertanyaan getir ini harus kuajukan karena nyatanya pria hitam manis berkumis tipis itu tampaknya begitu cuek dan bahkan terkesan dingin. Anehnya, sikap cuek dan adem-ayem yang ditunjukan pria hitam manis berkumis tipis itulah justru yang membuatku makin jatuh hati padanya. ”Oh, Arman … Irfan, Hendri atau … Hasan …,” tanpa sadar aku terus bergumam, mencoba menerka-nerka nama pria hitam manis berkumis tipis yang selalu bikin penasaran itu.
**
”Namaku Arman.”
”O, ya, aku Nina.”
”Aku asli Bandung. Umurku 33. Masih single. Baru lima tahun aku di Jakarta. Aku kerja di perusahaan advertising di daerah Kota.”
”Kalau aku dari Banjarmasin. Aku juga belum terlalu lama tinggal di Jakarta, sekitar empat tahunan. Wah, sepertinya kita nih segenerasi. Bidang kerja kita juga hampir sama. Aku di perusahaan event organizer di daerah Sudirman,” ujarku segera menimpali.
”Nina suka nonton?”
”Ya, dulu aku sering ke Taman Ismail Marzuki. Nonton film atau pertunjukan drama. Tapi, akhir-akhir ini aku agak malas karena tak punya teman untuk jalan,” ujarku mencoba memancing.
”Kalau kamu tidak keberatan, dengan senang hati aku bersedia jadi bodyguardmu, Nina,” ujar Arman mulai menggodaku.
Sesaat, suasana senyap menyergap. Arman terpaku memandangku. Aku juga menatap wajah Arman dengan penuh harap. Ada gejolak jiwa yang ingin kuungkap. Namun, aku tiba-tiba terperanjat dikagetkan alarm HP-ku yang nyaring berdering-dering. Pukul 05.00 tepat! ”Astaga, ternyata semuanya hanya mimpi,” ujarku bergumam. Mungkinkah mimpi itu jadi kenyataan? Sejatinya, aku ingin berusaha mengubur setumpuk harapan dan rasa penasaranku pada pria hitam manis berkumis tipis itu, namun ternyata aku tak kuasa. Semakin aku berusaha melupakannya justru semakin kuat pula harapan dan rasa penasaran itu muncul di ubun-ubun, menyelinap di alam bawah sadar, membuncah dalam rangkaian mimpi indah.
Namun apa lacur dikata, harapan-harapan indah itu nyatanya kian menjauh. Apalagi akhir bulan ini aku dipaksa harus meninggalkan Jakarta. Kepanikan Wall Street di Amerika dampaknya ternyata terasa sampai Jakarta. Presiden bahkan harus intervensi melakukan suspensi pasar modal. Sementara boss perusahaanku memilih rasionalisasi dengan melakukan PHK massal. Resesi moneter global itu ternyata bukan saja membuat panik dunia usaha, tapi juga telah membuyarkan masa depanku, meluluh-lantakkan setumpuk harapanku, mencabik-cabik perasaan di relung hatiku paling dalam. Haruskah tetap kusimpan harapan dan rasa penasaranku pada pria hitam manis berkumis tipis itu dengan setumpuk harapan lainnya agar aku tetap bisa bertahan di Jakarta?
Akhir bulan ini, mau tak mau aku harus pulang ke Banjarmasin. Meninggalkan Jakarta terasa begitu berat bagiku. Empat tahun bergelut di Jakarta rasanya hanya sekejap saja. Tumpukan kenangan plus impian indah yang belum mewujud seolah menggantung, enggan diajak pulang. Bagiku, Jakarta memang kadang memuakkan, menakutkan, tapi juga asyik-menggemaskan sekaligus menakjubkan. Ironi ini mungkin yang menjadi magnet sehingga orang-orang terus berlalu-lalang datang dan pergi silih berganti, pulang dan lalu kembali lagi ke Jakarta dengan beragam alasan, ragam harapan.
Hari ini aku memang harus pulang. Namun setumpuk asa yang tersisa di Jakarta akan tetap kupelihara. Termasuk harapan dan rasa penasaranku pada pria hitam manis berkumis tipis itu. Busway, Halte UI Salemba, Taman Ismail Marzuki, Monas, dan bahkan kemacetan serta teriknya udara Jakarta mungkin akan menjadi ladang cinta dan sumber kerinduan yang memanggil-manggilku ‘tuk kembali. Persis seperti lirik lagu Koes Plus yang sering kusenandungkan: “Ke Jakarta aku ‘kan kembali … Walaupun apa yang ‘kan terjadi …” /end.
[caption id="attachment_249732" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: google image"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H