Sebagai orang yang lahir di era pertengahan 80an, tumbuh di era 90an, remaja di awal 2000an saya melihat dan mengalami banyak perubahan yang terjadi di Indonesia. Mulai dari pergantian presiden, perubahan tren teknologi, sampai perilaku masyarakat pada umumnya. Dahulu yang saya ingat sejak kecil sampai remaja tersebar iklan keluarga berencana mulai dari iklan televisi, koran, radio, bahkan penyuluhan hingga tingkat PKK RT. Bahkan ibu saya yang sebelumnya bekerja sebagai tenaga perawat di sebuah rumah sakit di Semarang, sempat beralih profesi sebagai perawat di klinik khusus kontrasepsi. Sejak saya SMP sampai saya lulus SMA, hampir setiap bulan ibu saya keluar kota untuk memberikan penyuluhan kepada tenaga medis untuk pemasangan alat kontrasepsi yang benar.
sumber : www.tribunnews.com
Ketika saya kecil teman – teman di sekitar saya kebanyakan hanya dua atau tiga bersaudara dalam keluarga, namun ketika mereka menikah jumlah anak yang dimiliki bahkan lebih dari tiga. Telah terjadi pergeseran makna keluarga yang dahulu slogan “Dua Anak Cukup” kini sudah tidak berlaku lagi. Apakah yang terjadi?? Ternyata menurut cerita orang tua saya, program KB yang dahulu dilaksanakan secara nasional sampai ke pelosok semenjak era reformasi berubah menjadi kebijakan yang tergantung kepala daerah karena adanya otonomi daerah. Tentu perubahan ini selain berdampak kepada orang tua saya yang klinik kontrasepsinya harus ditutup karena keterbatasan dana dari pemerintah pusat dan daerah, juga akses masyarakat daerah terhadap KB yang menjadi lebih sulit.
Jika dahulu saat jaman orde baru, jumlah penyuluh Keluarga Berencana tersebar hingga pelosok, kini jumlahnya menurun drastis karena beberapa faktor. Salah satu faktor yang yang menyebabkan menurunnya jumlah penyuluh KB menjadi 17000 dari semula lebih 60000 ialah banyak yang beralih profesi menjadi camat atau pejabat daerah. Melihat kenyataan itu BKKBN pun tidak tinggal diam, ketika saya menghadiri nangkring Kompasiana dengan BKKBN di hotel Santika BSD tanggal 8 Juli 2014, Pak Suyono Hadinoto dan Pak Abidinsyah Siregar mengatakan langkah yang dilakukan ialah menggandeng TNI, militer, dan Perguruan Tinggi.
Karena TNI memiliki akses hampir di setiap wilayah di Indonesia, maka yang yang bisa mengajak masyarakat untuk menjalankan program KB staf TNI yang bertugas di wilayah pelosok hingga daerah perbatasan. Langkah ini saja tidaklah cukup perlu ada gebrakan secara nasional agar jumlah penyuluh KB bisa menjangkau hingga wilayah terpencil, dan sosialisasi secara menyeluruh seperti jaman orde baru dahulu. Bahkan menjelang peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 1 Agustus 2015 di Tangerang Selatan, masih banyak yang belum mengetahui peringatan hari tersebut dan maknanya.
Tentu hal ini menjadi tantangan kita bersama, untuk kembali memahami dan melaksanakan makna keluarga ideal dan berkualitas. Memiliki keluarga bukan sekedar menikah dan memiliki anak saja, namun juga mempersiapkan pendidikan anak hingga universitas dan menyiapkan dana pensiun ketika sudah produktif lagi. Dengan mengikuti program KB, juga ikut merencanakan masa depan keturunan agar lebih baik dari orang tuanya dan agar memiliki dana yang cukup hingga sekolah di universitas. Jika gagal merencanakan sama saja dengan merencanakan kegagalan. Tentu sebagai orang tua tidak ingin jika anaknya tidak bisa memiliki pendidikan yang baik di masa depannya.
Bagi saya program KB juga sama pentingnya dengan program pendidikan dan kesehatan karena saling berkaitan. Dalam hal ini BKKBN sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menjalankan Keluarga Berencana harus melakukan gebrakan agar program KB bisa serentak dari Sabang sampai Merauke seperti ketika masa orde baru dulu. Salah satu langkah yang dilakukan ialah merekrut penyuluh KB secara nasional dengan jumlah 10.000 setiap tahunnya. Selain memberikan informasi kepada warga hingga pedesaan, dengan merekrut tenaga penyuluh KB juga bisa mengurangi pengangguran lulusan SMA yang belum mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi.
sumber : www.solopos.com
Tenaga penyuluh yang telah diterima tentu harus diberi pelatihan sekitar tiga bulan agar siap terjun ke masyarakat untuk memberi penyuluhan. Selain merekrut secara nasional, juga perlu adanya gerakan yang melibatkan masyarakat sipil seperti halnya gerakan “Indonesia Mengajar”. Dengan adanya gerakan ini melibatkan masyarakat umum diajak untuk memberikan penyuluhan hingga daerah terpencil selama satu tahun agar bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat yang membutuhkan. Selain itu kepala daerah seluruh Indonesia dari mulai gubernur, walikota, bupati juga harus diberikan target agar program KB memiliki hasil agar setiap daerah juga ikut terlibat.