Lihat ke Halaman Asli

Menakar Beberapa Kebijakan dan Program "Baru", Paslon Penantang Petahana di Pilgub DKI

Diperbarui: 16 Desember 2016   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejatinya keterpilihan pasangan calon (paslon) dalam kontes pemilu selain karena teladan kepribadian, track record pekerjaan, juga karena tawaran program yang diajukan dapat menarik simpati para pemilih. Melalui program yang didesain dengan tepat, diharapkan mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Menengok penantang petahana pada Pilgub DKI, Paslon Nomor Urut 1 (AHY-Sylvi) dan Paslon Nomor Urut 3 (Anies-Sandi), sejujurnya saya sedikit kecewa karena miskinnya ide-ide orisinil yang bisa dituangkan dalam program yang ditawarkan, padahal kalau melihat latar belakang kedua paslon penantang petahana bukanlah orang sembarangan, memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang hebat-hebat.

Saya memang tidak pernah membaca secara lengkap visi misi serta program yang ditawarkan setiap paslon, tetapi melalui kegiatan blusukan yang disiarkan tv, dapat saya tarik 2 indikasi kuat, “asal beda”. Pertama, kebijakan atau program yang ditawarkan para penantang lebih ke ‘akan lebih memperbaiki yang sudah ada’. Ungkapan-ungkapan seperti, “lebih memperbaiki KJS dan KJP”, “KJS plus”, “KJP plus”, “program tidak penting, yang penting orangnya baik” adalah bentuk ungkapan miskinnya ide ataukah mungkin terlalu sulit melihat celah kekurangan dari program yang sudah dijalankan petahana ?. Ibarat strategi marketing, buatlah sedikit pembeda terhadap suatu produk sejenis supaya bisa menarik konsumen. Hal ini juga bisa dilihat pada debat di Kompas TV, Kamis 15-12-16, yang dihadiri oleh pasangan petahana dan paslon nomor urut 3, terlihat dengan jelas bahwa hampir semua ide-ide atau sebut saja program yang ditawarkan paslon penantang, sesungguhnya telah dan sedang dijalankan oleh petahana.  Kedua, ada beberapa kebijakan atau program yang nampaknya “baru”, bukanlah jualan benar-benar orisinil, tetapi cenderung hanya berusaha menghilangkan kebijakan tidak populer yang sedang dijalankan oleh petahana, seperti kebijakan penggusuran dan reklamasi teluk Jakarta. Kedua kebijakan tersebut memang tidak populer dan menuai pro-kontra yang akan kita bahas di paragraf selanjutnya. Namun yang terpenting sebenarnya adalah setiap pemimpin harus siap mengambil kebijakan yang tidak populer, asalkan sudah dipertimbangkan dengan matang plus minusnya, meski memang pada akhirnya tidak semua pihak akan terpuaskan.

Saya memang tidak setiap saat mengikuti perkembangan kampanye Pilgub DKI, tetapi setidaknya dari beberapa pernyataan yang sering diulang-ulang oleh paslon penantang, yang mengindikasikan bahwa itulah kebijakan atau program yang akan diambil apabila kelak mereka terpilih. Disini saya dapat simpulkan beberapa kebijakan atau program “baru” dari penantang petahana sebagai berikut :

  • Memberikan bantuan sebesar 1 Milyar ke setiap RW (Rukun Warga);

Ini adalah salah satu program Paslon nomor urut 1. Tak banyak yang saya bisa tanggapi dari program ini. Saya tidak tahu, berapa sesungguhnya jumlah RW yang ada di DKI. Tetapi yang pasti adalah jumlah uang nantinya yang dibutuhkan untuk merealisasikan program ini akan sangat besar, lantas dari mana uangnya ?. Saya pun tidak tahu bagaimana detail mekanisme program ini nantinya. Apakah murni bansos ataukah semacam bantuan desa yang harus dibuat dalam bentuk kegiatan di masing-masing RW, yang nantinya harus dipertanggungjawabkan dan dilaporkan. Apapun itu, kalau sifatnya bansos, ada ungkapan yang menyatakan “jangan berikan ikan, tetapi berikanlah pancing”.

  • Tidak akan melakukan penggusuran;

Dalam beberapa siaran tv, ini merupakan kebijakan yang disampaikan oleh kedua Paslon penantang petahana, paslon nomor urut 1 dan 3. Berbicara tentang pembangunan kota berarti berbicara soal konsep kewilayahan yang intinya bertumpu pada Tata Ruang. Konsep tata ruang yang telah disusun berdasarkan kajian akademik sesungguhnya adalah sebuah “kesepakatan”, kesepakatan semua pihak untuk taat menjalankannya sehingga tercipta harmoni pembangunan yang berkelanjutan. Persoalannya disini sebetulnya bukanlah masalah menggusur atau tidak menggusur, tapi sejauh mana ketaatan semua stakeholder terhadap kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam konsep tata ruang. Saya yakin dengan pasti bahwa DKI sebagai ibukota negara sudah pasti memiliki Naskah Akademik Tata Ruang Kota. Hal ini berarti bahwa apabila suatu zona tidak sesuai dengan peruntukannya maka zona tersebut haruslah ditata ulang, termasuk apabila terpaksa harus menggusur. Suatu zona dalam konsep tata ruang memiliki keterikatan erat dan tidak bisa dilepaskan dari zona lainnya, lebih tegasnya tidak ada suatu zona yang bisa berdiri sendiri, baik atau buruknya suatu zona akan berpengaruh juga terhadap baik buruknya zona yang lain.

Memang, persoalan penting kemudian adalah akan dikemanakan atau dibagaimanakan warga yang digusur ?. Disinilah pemerintah harus hadir untuk memastikan bahwa warga yang digusur memperoleh hak-hak yang minimal sama sebelum mereka digusur, baik tempat tinggal, mata pencaharian maupun hak-hak dasar lainnya. Jadi menolak penggusuran mungkin memang bisa menjadi solusi  jangka pendek yang kedengarannya menyenangkan, tetapi bukan solusi pembangunan jangka panjang yang harmoni dan berkelanjutan.

  • Memangkas rantai tataniaga sembako;

Ide memangkas rantai tataniaga ini oleh paslon nomor urut 3 didasari dari survei tim mereka, bahwa mahalnya kebutuhan sembako, menjadi salah satu permasalahan utama bagi sebagian warga DKI. Saya tak akan membahas hasil survei tersebut, tetapi saya ingin menyoroti kata “memangkas” atau memotong. Perlu diketahui bahwa terciptanya suatu saluran pemasaran, tidak diciptakan oleh siapapun tetapi selalu terbentuk secara alami, pelaku usaha yang terlibat didalamnya pun, sudah merasa nyaman dengan saluran tersebut. Mengganggu apalagi memutus rantai tataniaga atau saluran pemasaran tersebut akan menciptakan masalah baru, yakni bertambahnya pengangguran. Ambil contoh, katakanlah tataniaga beras, untuk sampai ke konsumen di Jakarta mungkin akan melewati 3 sampai 4 pedagang perantara. Masing-masing pedagang perantara memiliki beberapa karyawan atau pegawai yang bertugas mengangkat, mengangkut, mencatat atau menyimpan (pergudangan). Apabila 1 saja pedagang perantara yang di pangkas bukankah itu menghilangkan mata pencaharian dari beberapa orang sekaligus ?. Hal ini menjadi bertolak belakang dengan masalah masih tingginya angka pengangguran di DKI, yang sering dipersoalkan paslon nomor urut 3, meski sejak petahana menjabat Gubernur DKI terjadi trend penurunan angka pengangguran secara signifikan.

Kembali ke masalah memangkas atau memotong rantai tataniaga, dalam teori Ekonomi Pemasaran atau Ekonomi Regional, setahu saya tidak pernah secara eksplisit direkomendasikan tentang memotong rantai tataniaga, tetapi yang ada adalah merangkul semua pelaku usaha kedalam suatu sistem (klaster, inti – plasma dan sejenisnya), dimana setiap pelaku usaha yang dipastikan bekerjasama saling menguntungkan, membagi keuntungan secara adil kepada semua pelaku usaha sesuai besarnya jasa yang diberikan.

Mahal atau tidaknya suatu kebutuhan bahan pokok sebenarnya sangat sedikit  dipengaruhi oleh panjangnya saluran yang dilewati. Ada sejumlah faktor penentu lainnya yang berpengaruh lebih besar, kebutuhan bahan pokok sebenarnya tidak melulu mahal tetapi hanya sering berfluktuasi. Fluktuasi harga dipengaruhi ke arah mana struktur pasar mengarah ?. Sembako, yang sebagian besar adalah produk pertanian, di tingkat produsen biasanya selalu mengarah ke struktur oligopsoni(banyak penjual – sedikit pembeli). Kondisi ini turut pula dipengaruhi kenyataan bahwa sebagian besar sembako berupa bahan makanan, mudah rusak (perishable food), juga ketersediaanya sangat dipengaruhi oleh musim. Pemerintah hadir untuk bagaimana memastikan ketersediaannya secara kuantitatif dan kualitatif tetap terjaga dengan baik. Itu saja !. Bagaimana caranya ? berdayakan koperasi, bentuk klaster-klaster, lakukan pasar murah (hanya) bila dianggap perlu.Jadi disini perlu saya sampaikan supaya kebijakan memangkas rantai tataniaga ditinjau ulang, sebab tidak akan banyak berpengaruh terhadap penurunan harga jual di pasaran, yang terjadi adalah bertambahnya angka pengangguran .

  • Menolak reklamasi (karena reklamasi merusak lingkungan ?).

Isu reklamasi ini merupakan salah satu isu tidak populer yang sedang dikerjakan oleh petahana. Seingat saya kandidat cagub nomor urut 3 dalam salah satu wawancara di tv menyatakan bahwa reklamasi harus dihentikan karena merusak lingkungan. 

Sebelum membahas lebih lanjut penulis ingin memberikan ilustrasi begini, planet bumi dimana kita sedang berpijak saat ini tidak pernah bertambah luas atau bertambah besar, sedangkan orang-orang yang ada diatasnya terus bertambah dengan segala aktifitasnya yang tanpa henti. Hal ini akan mendorong aktifitas ekstraktif yang terus meningkat tiada henti.  Oleh karena itu, tanpa disadari aktifitas keseharian kita seperti mandi, membuang hajat, berkendaraan dan sebagainya, sebenarnya sudah  turut berkontribusi terhadap kerusakan/penurunan mutu lingkungan. Lalu apa kaitannya dengan urusan reklamasi ?. Kaitannya adalah peningkatan populasi penduduk di DKI tentunya memerlukan ruang tambahan yang baru – apalagi prediksi pakar, bahwa pada tahun 2050 Jakarta akan tenggelam !.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline