Lihat ke Halaman Asli

Kiai Jarkoni

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dulu, guru saya di Madrasah Dinniyah dengan mantap bercerita tentang seorang kiai yang bisa diperdaya iblis dan mati dalam kekafiran. Kalau tak keliru, nama sang kiai itu Barqisah. Dia seorang yang sangat tekun beribadah. Tak ada waktu buatnya selain untuk berzikir ke hadirat Allah di masjid. Dia benar-benar seorang abid sejati.
Suatu hari, di dekat mihrab, dia melihat seseorang duduk bersila dan berzikir dengan khusyuk. Sehari semalam, orang itu bergeming dalam doa dan itu membuat sang kiai takjub. Dia ingin bisa sekhusyuk orang tersebut. Konon, orang itu tak lain adalah iblis yang malih rupa.
Iblis adalah bapa segala dusta dan penggoda paling lihai. Tapi Kiai Barqisah sudah mantap berguru padanya. ''Untuk sekhusyuk aku, gampang kok, kau bunuh seseorang sehingga saat kau merasa sangat berdosa, doa permintaan ampunmu pada Allah bakal sangat khusyuk.''
Abid seperti sang kiai mana mau melakukan perbuatan dosa besar itu? ''Tidak, itu dosa besar,'' ujar sang kiai. ''Baiklah, kalau begitu, kau perkosa saja seorang gadis,'' perintah iblis lagi. ''Tidak, itu juga dosa besar.''
Si iblis tersenyum, ''Kau benar-benar hamba Allah sejati. Mari minum khamar (minuman keras). Dosanya lebih kecil, tapi perasaan berdosamu bakal membuat zikirmu lebih khusyuk.''
Singkat cerita, sang kiai minum khamar. Dia mabuk, dan dalam kemabukan dia memperkosa istri pemilik warung minum sebelum membunuh si empunya. Dia ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman mati. Putus asa, kepada si iblis dia minta dibantu pembebasannya.
''Itu mudah, tapi kau mesti bertuhan padaku.'' Begitulah, Kiai Barqisah yang abid dan alim itu mati setelah bersyahadat bahwa dia bertuhan pada iblis. Tragis!
***
KISAH itu saya ingat lagi saat heboh tuduhan perkosaan dan perzinaan yang dilakukan Kiai Sejuta Umat KH Zainuddin MZ terhadap Aida Saskia. Memang tak ada hubungannya sama sekali. Kalau tuduhan itu benar, saya tak yakin Zainuddin sedang mabuk alkohol sebelum memerkosa Aida. Nasibnya pun tak bakal setragis Barqisah, dan paling-paling diprodeo beberapa tahun, dan musykil Zainuddin mau menuhankan iblis. Mungkin hanya karena keduanya sama-sama kiai saja yang membuat saya ingat pada cerita guru madrasah itu.
Dan seperti biasa, ketika infotainment membuat orkestrasi berita, kehebohan hampir selalu muncul. Ada yang percaya kebenaran cerita Aida, tapi ada pula yang sebaliknya. Dan sebagai orang kondang, dai sejuta umat (saya heran kenapa dulu istilah yang dipakai adalah ''umat'' bukan orang sebab ''umat'' dalam KBBI artinya para penganut suatu agama; dan dalam pemahaman saya yang bukan ahli bahasa, ''sejuta umat'' itu banyak sekali, padahal saya yakin agama di dunia tak sampai sejuta jumlahnya), ya sebagai pesohor, tentu banyak pembela Zainuddin. Salah satunya Forum Solidaritas Ulama (FSU) yang lantang berteriak, ''Itu fitnah!'' Tak kalah garang, si penyanyi dangdut ''Ayam Jago'' Aida menangkis, ''Aku punya bukti-bukti.''
Bola panas itu masih dimain-mainkan ''kesebelasan'' Zainuddin versus Aida. Saya tak mau ikut-ikutan jadi suporter yang mendukung salah satunya. Tapi saya akui, semua yang terucap dari mulut Zainuddin ketika berdakwah, tak satu pun yang tak saya sukai. Dan karena dia seorang kiai, sebagai orang yang didakwahi, tentu saya membayangkan dirinya sebagai figur yang alim, abid, bermoral bagus, dan bertindak sesuai kata-kata yang diucapkan dari mulutnya.
Kalau ternyata sebaliknya, pantaslah saya kecewa. Jangankan seorang kiai, pada seorang penjual bakso dengan merek dagang misalnya Bakso Pak Kumis, tapi si empunya sama sekali tak berkumis pun bisa membuat saya kecewa. Contoh lain, penjual warteg yang tak bisa bahasa Tegal  pun patut dipertanyakan ke-warteg-annya meskipun dalam dunia yang global ini, kita bisa dengan mudah meniru merek dagang yang lagi laris.
Apalagi, saya ingat sebuah ujaran keseharian dalam masyarakat Jawa yang disebut ''jarkoni''. ''Bisa ngujar ora bisa nglakoni'' alias cuma bisa omong doang. Dan ketimbang mengagumi Kiai Jarkoni mendingan datang ke Kiai Sya'roni (bukan saya tentu saja, dan kalau ada kemiripan nama itu hanya kebetulan saja, hehehe....), atau mending mendengarkan ''fatwa'' dari ''Kiai'' Toni Blank yang kata-katanya boleh kita dengarkan, syukur bisa membuat kita tertawa tanpa harus menyigi kebenaran ucapannya. Cukup bilang: separatoz... blank! (*)

Epilude, Suara Merdeka, 17 Oktober 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline