Lihat ke Halaman Asli

Saroh Jarmin

Guru Bahasa Indonesia

Tentang Dilan, Sebuah Apresiasi untuk Pidi Baiq

Diperbarui: 13 Maret 2018   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kurang lebih dua tahun yang lalu, barangkali saya termasuk yang sedikit under estimated terhadap novel Dilan ketika pertama kali melihatnya di toko buku. Saya merasa tidak mendapat chemistry meski hanya untuk memegangnya apalagi membacanya. Sebagai pembaca dan penikmat novel-novel Indonesia, sikap saya itu tentu saja sangat jauh dari kata bijak karena hanya melihat sebuah karya dari luarnya. Ditambah dengan alasan saya sama sekali belum mengenal style Pidi Baiq. 

Selama ini saya terlalu memanjakan diri dengan karya-karya Andrea Hirata, Tere Liye, Dewi Lestari, Ahmad Fuady, Habiburrahman El Shirazy, dan Asma Nadia. Sehingga di benak saya muncul satu pemikiran bahwa novel yang menurut saya baik dan layak adalah karya-karya yang harus sejajar dengan karya-karya para penulis itu. Bagaimana sebuah cerita yang menarik ditampilkan dengan bahasa yang nyentrik dan lebih berkelas.

Minat saya untuk mendalami Dilan masih juga belum hadir ketika beberapa siswa di sekolah tempat saya mengajar sudah membawa-bawanya dan bahkan tuntas membacanya. Komentar saya saat itu masih saja datar dan tidak menunjukkan antusiasme untuk memberikan apresiasi kepada siswa-siswa saya yang sudah membaca novel itu. Lagi-lagi ini jelas bukan sikap yang bijak apalagi saya sebagai guru bahasa Indonesia. 

Dalam penilaian saya sementara --karena belum membacanya- novel itu paling hanya berkisah tentang kisah cinta anak remaja yang cenderung picisan dengan alur cerita yang mudah ditebak. Tidak tampak ada keistimewaan di dalamnya. Kurang menggigit dan tidak menggugah rasa penasaran. Sampai pada suatu hari, siswa-siswa saya membawa novel itu ke kelas untuk dianalisis unsur intrinsiknya pada salah satu bagian atau kutipan novel yang menurut mereka menarik. 

Ketika mereka presentasi, saya menyimaknya dengan saksama karena tiba-tiba ada rasa ingin tahu mengapa siswa-siswa saya begitu tertarik dengan novel itu. Waktu itu kutipan yang dipresentasikan adalah bagian ketika Dilan menampar Pak Suripto karena tidak terima atas perlakuan Pak Suripto kepadanya pada saat upacara bendera. Saat itu saya baru bertanya di hati, siapa Dilan? Sosok pahlawankah?

Pencarian saya tentang Dilan tidak berlanjut. Semua berhenti begitu saja. Hingga Dilan booming dan namanya menjadi bahan perbincangan banyak orang. Begitu banyak sanjung dan puji untuk Dilan. 

Dalam waktu singkat, Dilan dan Milea menjadi pasangan legenda seperti Galih dan Ratna atau Rangga dan Cinta. Dilan pun tidak hanya sebagai tokoh fiksi yang menjelma dalam imajinasi, tetapi juga menjelma dalam wujud visual yang bisa dinikmati lewat layar kaca. Ternyata saya pun kemudian terbawa arus euforia Dilan. Memori saya selanjutnya dipenuhi wajah-wajah siswa saya yang sudah terlebih dahulu menunjukkan apresiasinya terhadap Dilan. 

Ada rasa menyesal mengapa dulu saya begitu cuek dengan Dilan, padahal Dilan sudah begitu dekat dengan saya. Dan akhirnya pencarian yang sempat terhenti itu pun saya lanjutkan. Meskipun Dilan sudah ditayangkan dan bisa dilihat, tapi saya tidak ingin memulai pencarian saya lewat visualisasi Dilan. Saya ingin memulai mencari Dilan lewat imajinasi versi saya. Seolah gayung bersambut, seorang siswa dengan sukarela membawakan novelnya untuk saya. Tidak menunggu waktu lama, Dilan pun menjadi bagian dalam imajinasi saya. Dan apa yang terjadi? Saya harus jujur, saya pun jatuh cinta dengan Dilan. Betapa Milea menjadi sangat beruntung karena pernah memiliki dan dimiliki Dilan.

Pada akhirnya, jatuh cinta itu selalu memiliki banyak alasan. Saya selalu jatuh cinta pada novel-novel Indonesia yang lahir dari para penulis ternama yang sudah saya sebutkan. Bisa karena kekuatan nama besar dan pengalaman pengarangnya, teknik penulisannya, tema yang diusungnya, kemasan alur ceritanya, keindahan bahasanya, nilai-nilai intertekstual yang dikajinya, dan hal-hal menarik lainnya. Tetapi Dilan, terlepas dari apapun yang menjadi kekurangannya, membuat saya jatuh cinta dengan alasan yang lain. 

Dilan memberikan kesan yang berbeda. Ada kenangan yang turut saya rasakan. Ada dinamika kehidupan remaja yang tiba-tiba hadir dan sangat nyata. Ada romantisme yang turut bergemuruh di dada ketika konflik-konflik Dilan dan Milea yang sebenarnya biasa itu menjadi khas karena kekuatan watak Dilan. Padahal tentu saja saya tidak pernah mengalami apa yang dialami Dilan dan Milea, meskipun saya juga termasuk generasi remaja '90-an.

Dan itulah Dilan. Saya tidak menilainya sebagai remaja laki-laki gombal. Di mata saya ia bahkan sangat unik. Karakter Dilan yang jadul bisa jadi terlalu istimewa di masanya. Di usianya yang masih muda saat itu, betapa Dilan sudah melakukan satu hal besar dalam hidupnya yang bisa jadi tidak ia sadari. Itulah mengapa karya Pidi Baiq ini kemudian menjadi penting. Lewat Dilan, Pidi Baiq secara tidak langsung mengajak para pembaca novelnya dan penonton filmnya untuk belajar. Belajarlah dari Dilan karena ia mampu menghargai cinta dan menempatkannya pada tempat terbaik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline