Lihat ke Halaman Asli

Agamawan yang Tak Beretika

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia



Teringat ketika penulis berada di salah satu kampus Islam di Makassar. Waktu itu sedang hari jum’at, dan adzan shalat jum’at sudah berkumandang.Penulis karena sudah tiga hari tidak mandi, merasa malu ketika harus masuk ke yang katanya rumah Tuhan.

Penulis memutuskan untuk tidak pergi shalat jum’at, dan memilih untuk duduk-duduk di salah satu fakultas di Universitas tersebut. Di tempat itu penulis bersama dengan teman-teman wanitanya. Sedang enak-enaknya bercengkrama, tiba-tiba datang seorang dosen yang merasa beragama dan memiliki Tuhan, serta merasa memiliki otoritas untuk menilai orang susila atau ntuna susila.

Penulis dimarahi habis-habisan, seolah-olah manusia yang susila hanya dinilai dari apakah dia shalat jum’at atau tidak, serta orang yang tidak shalat jum’at adalah manusia yang hina dan jahat. Penulis berfikir sinis dan sedikit kritis, apakah begini perilaku seorang penegak nilai keagamaan, pantasan agama lebih banyak mendapatkan mudarat daripada kebaikan.

Agama dan Nilai-Nilainya.

Agama merupakan ajaran yang mengatur tata keimananmenusia kepada Tuhan, dan aturan yang berhubungan dengan tata pergaulan manusia dengan manusia serta alam. Begitulah defenisi agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Agama dalam perspektif das solennya, merupakan peraturan yang mengarahkan manusia kearah yang baik dan benar. Barang tentu ketika manusia menghayati agama secara hakiki, maka manusia akan berperilaku yang sesuai dengan ajarannya.

Tapi dalam perspektif das seinnya,agama justru menjadi momok yang memicu berbagai perbuatan yang tidak manusiawi. Mulai dari perang salib antara agama Islam dan agama Kristen. Di Indonesia, perang antar agama pernah terjadi di Poso Sulawesi Tengah dan Ambon yang menewaskan ratusan orang. Bom bali dan bom yang terjadi di berbagai daerah, mengatasnamakan atas agama tertentu.

Fenomena Pemuka Agama di Indonesia

Para pemuka agama yang nota bene menjadi simbol agama justru tidak telepas dari berbagai pelanggaran-pelanggaran berat. Seperti kasus-kasus korupsi yang menjadi momok di Indonesia.

Contoh pelanggaran yang terjadi adalah kasus korupsi kuota Impor daging sapi yang melibatkan mantan presiden PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Lutfi Hasan Ishaq. (kompas.com 9 Desember 2013) PKS yang nota bene adalah partai yang berediologi Islam yang seharusnya menolak perilaku-perilaku tersebut.

Pelanggaran yang lebih berat dan paling mencengankan untuk para kaum agamawan adalah korupsi pengadaan kitab suci Al-Quran yang terjadi di Kementrian Agama. (kompas.com 20 Januari 2014)

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam yang sangat diagungkan oleh umatnya, justru umatnya sendiri yang berani mempermainkannya. Al-Quran sebagai petunjuk sudah tidak bernilai lagi dan sudah tidak dapat lagi dijadikan pedoman hidup karena justru pengikutnya melakukan berbagai pelanggaran demikian.

Agama sudah tidak dapat lagi dijadikan sebagai dasar pedoman untuk kehidupan bernegara, butuh nilai yang lebih universal dari nilai-nilai agama. Agama justru sudah menuju sebagai alat kekuasaan dan alat untuk melakukan berbagai kejahatan. Seperti kata Marx dalam bukunya yang berjudul A Criticism of The Hegelian Philosophy of Rightbahwa (It [Religion] is the opium of the people) agama adalah candu yang hanya memberikan berbagai hal negative bagi manusia.

Menurut Nietzschedalam bukunya yang berjudul Die fröhliche Wissenschaft bahwa Tuhan sudah mati. Dimana Nietzsche ingin menggambarkan bahwa ide tentang tuhan sudah tidak mampu lagi menjadi pijakan tentang nilai-nilai moralitas.

Maka dari itu, seluruh nilai-nilai luhur sudah tidak relevan lagi ketika berdasarkan atas agama tertentu, atas golongan dan organisasi tertentu. Harus ada nilai yang lebih universal dari hal itu.

Nilai-nilai Universal yang sesuai dengan kondisi keindonesiaan kita hari ini adalah nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai multi kultur harus menjadi pijakan dalam membangun etika dan moralitas bagi bangsa Indonesia.(ANTARA News 18 Januari 2014)

Maka dari itu, sebagai manusia kita harus bersikap seperti manusia yang sebenarnya, bukan manusia yang selalu melanggar etika demi agama dan golongannya.

Tulisan ini saya tutup dengan ucapan dari gusdur ” tidak penting apapun agama dan sukumu, kalau kamu bisa berbuat baik untuk semua orang, orang tidak pernah Tanya apa agamamu”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline