Oleh: Dr.med. Sarmedi Purba, SpOG
Disampaikan pada Seminar / Focus Group Discussion : AKTUALISASI DAN IMPLEMENTASI HABONARON DO BONA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT SIMALUNGUN DI ABAD 21, 12 Agustus 2017 di Hotel Polonia Medan.
Pengertian tentang Habonaron do Bona (HDB) tidak dipaparkan lagi lebih mendalam karena sudah menjadi topik makalah lainnya. Tentu kita tidak menganut HBD dalam konteks agama animisme Simalungun (1). Yang jelas bahwa HDB sudah menjadi bagian dari lambang Pemda Simalungun (2). Suatu keberhasilan perjuangan politik Simalungun.
Terjemahan Kebenaran adalah Pangkal (segalanya) menjadi pengertian umum HDB. Suatu prinsip hidup yang diyakini leluhur Simalungun.Dari awal sejarah politik kerajaan Simalungun terjadi pemekaran dari kerajaan Nagur, menjajadi Raja Mardua, Maroppat dan Marpitu (3).Pada abad ke 19 perang Rondahaim, kerajaan-kerajaan ini saling perang yang pada akhirnya hanya kerajaan pimpinan Rondahaim yang memiliki bala tentara di Simalungun untuk mempertahankan hegemoni Simalungun dari pengaruh invasi Belanda.Terbentuknya 7 kerajaan di Simalungun pada awal abad ke 20 merupakan pemekaran 4 kerajaan yang dilegalisir melalui korte verklaring (baca penyerahan kedaulatan).
Yang menyatukan Simalungun pada masa penjajahan Belanda yang hanya berusia 35 tahun (1907-1942) dan bukan 350 tahun seperti di Jawa, adalah Harungguan Raja Simalungun yang biasanya dilakukan di Siantar.Politik dalam arti asalnya adalah suatu ilmu atau kegiatan untuk memakmurkan kota (=poli, sekarang negara). Untuk itu politik harus merebut kekuasaan untuk menjalankan konsep kemakmuran yang menjadi tujuannya.
Ada dua paradigma yang saya ingin utarakan sebagai pendapat pribadi dengan politik HDB ini:
1. Pemimpin Simalungun hanya dapat terwujud kalau ketatanegaraan dan politik berjalan dengan benar (ha-Bonar-on).
2. Kecurangan politik termasuk revolusi "sosial" tidak menguntungkan dengan prinsip HDB orang Simalungun.Politik sesudah proklamasi 17-8-45 membuktikan kedua asumsi di atas. Kebanyakan raja Simalungun sudah tahu bahwa mereka akan disingkirkan. Konon kabarnya mereka juga ikut pada rapat-rapat di Medan sebelum eksekusi dari "revolusi sosial" itu.Kutipan dari buku Erond Damanik misalnya menyebut:"Jalannya revolusi ialah setelah mendapat "restu" dari "pemimpin bangsa" seperti M. Amir (wakil gubernur Sumatera) dan Ahmad Tahir (Barisan Pemuda Indonesia).
Akhirnya, seluruh pemimpin swapraja "dihapus" dengan dalih "antek kolonial", "anti priklamasi" yang dilakukan dengan pembunuhan, pemenggalan, pembakaran istana, penjarahan dan bahkan pemerkosaan. Wibawa swapraja pun akhirnya lenyap selama-lamanya." (4).Namun karena "merasa benar" dan bukan antek kolonial atau anti proklamasi (mereka anggota Pesindo (5)), mereka tidak menyelamatkan diri dengan cara evakuasi (mengungsi) ke luar daerah atau luar negeri. Raja Raya ditemukan di Manakraya dan dibunuh, demikian juga Raja Panei diangkut dari istananya dan dieksekusi malam 3 Maret 1946 itu (6).Raja Purba dan Raja Silimakuta yang juga ikut bergerilya menentang masuknya kembali Belanda ke Sumatera terbunuh jadi korban Barisan Harimau Liar (BHL) 1 1/2 tahun kemudian.
Saya pernah mempertanyakan mengapa mereka tidak menganalisa situasi dengan benar dan menyelamatkan diri pada waktu yang tepat? Teori saya ini kemudian terbukti bahwa ada keluarga raja yang menilai situasi politik waktu itu dengan benar, seperti Madja Poerba yang mengungsi ke Tarutung, kemudian ke Bukit Tinggi, Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dan ke Singapura. Baru sesudah situasi aman mereka sekeluarga kembali ke Simalungun (penuturan pribadi Darwan Purba).
Artinya dalam aplikasi politik HDB orang Simalungun harus memakai kaidah modern untuk menganalisa situasi sospol agar tidak menjadi korban politik.Mungkin falsafah HDB inilah membuat tokoh Simalungun menjadi pemimpin pada masanya seperti Mr Djaudin Poerba jadi walikota tahun 50an, Madja Poerba jadi Bupati Simalungun dan kemudian jadi walikota Medan sampai tahun 60an. Demikian juga Radjamin Purba menjabat bupati Simalungun pada era 60an.