Lihat ke Halaman Asli

Yang Waras Jangan Kalah

Diperbarui: 8 Maret 2022   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam percakapan sehari-hari sering terdengar omongan "waras". Kata yang pada umumnya dipahami sebagai penggambaran untuk orang yang tidak hanya sehat jasmani tetapi juga sehat rohani. Kalau orang memiliki jasmani yang sehat tetapi rokhani tidak sehat, sering disebut tidak waras. 

Tentu saja ini omongan di luar pengertian dunia medis. Kalau persoalan medis, hanya dokter yang berwenang menyatakan seseorang itu sehat atau sakit. 

Banyak istilah lain yang bermakna tidak waras, seperti gila, gendeng, edan, gelo, gemblung, sakit jiwa dan seterusnya. Masing-masing istilah meski kurang lebih sama maknanya, tetapi memiliki banyak tafsir sesuai konteks kalimatnya.   

Contohnya, komentar kawan ketika melihat orang tidak waras lewat: "enak betul orang gila itu, hidupnya bebas merdeka, semerdeka-merdekanya". Saat itu si tidak waras berjalan di tengah kota dengan bebasnya, tanpa rasa sungkan, khawatir, takut dan malu terhadap keadaan tubuhnya yang tidak tertutup kain sehelai pun. Gila seperti ini cocok kalau masuk kategori tidak waras level parah. 

Ada lagi istilah gila bola, gila kerja, gila harta dan gila-gila lainnya yang memiliki makna, menyukai sesuatu secara berlebihan.  Bagi penggila bola, dia akan rela nonton bola semalaman hingga pagi, sementara yang lain memilih tidur pulas. Atau menonton tim sepakbola favoritnya di manapun bertanding. "Bonek", "viking", "jak-mania", "bobotoh" adalah contoh penggila bola. 

Bagi penggila kerja, bekerja adalah dunianya. Kapanpun, dimanapun dan dalam acara apapun, bekerja selalu ada di kepalanya. Digunakannya waktu sibuknya maupun waktu luangnya untuk kerja-kerja dan kerja, siang malam, karena memang itulah dunianya. 

Bagaimana dengan gila harta? Ia itu orang yang sangat mencintai harta. Begitu cintanya, sampai-sampai segala sesuatu diukur dengan harta. Cintanya pada harta berlebihan, artinya, melebihi kepantasan, kewajaran, bahkan sampai lupa diri, lupa daratan. 

Sisi baiknya, seorang penggila harta akan bekerja dan berusaha keras demi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Hartanya bisa digunakan untuk dirinya sendiri, keluarga atau mensejahterakan masyarakat lingkungan dekatnya. Memang tidak jelek  menjadi gila harta asalkan jalan yang ditempuh tidak menyalahi norma, etika dan tidak melanggar hukum. 

Sisi jeleknya, apabila dia menempuh jalan salah dan merugikan pihak lain dalam mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya itu. Misalnya, mengambil harta bukan haknya, menipu, suap menyuap, merampok, membegal, menjambret, bahkan membunuh. Lebih ngeri lagi ada orang yang mencari harta dengan berpura-pura tertabrak mobil lalu memeras. Kelakuan buruk seperti ini tentu mengundang masalah. 

Apalagi kalau mencari harta dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Menurut UU No. 31 th 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perilaku seperti itu masuk kategori tindak pidana korupsi dan bisa dipidana penjara. 

Walau begitu, sepertinya tindak pidana korupsi ini bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah "usaha" yang menggiurkan. Buktinya, meskipun banyak yang sudah ditangkap dan dihukum, pelakunya terus saja ada dengan jumlah uang yang dikorupsi semakin hari pun semakin gila. Begitu gilanya hingga banyak orang tidak mampu membayangkan dan tidak habis pikir, uang hasil mencuri sebesar itu digunakan untuk apa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline