Orang kadang suka jahil ketika secara sembarangan menggolong-golongkan orang dengan kategori yang tidak jelas dasarnya. Apalagi dasar ilmiah, dasar logika sederhana pun sering diabaikan.
Contohnya ketika melihat orang berkepala botak, langsung dianggap sebagai orang pandai, pemikir dan ahli dalam bidang tertetu. Padahal kenyataannya, Einstein berambut gondrong, BJ Habibie tidak botak, dan banyak Rektor Perguruan Tinggi yang jelas-jelas intelektual, cerdik pandai dan pemikir tidak semuanya botak.
Contoh lain, orang yang berbadan besar dan berperut buncit, dengan gampang digolongkan sebagai orang kaya dan makmur sejahtera. Dianggap orang banyak duit dan tidak pernah kurang makan.
Orang yang berpakaian dekil, berwajah sangar, rambut gondrong awut-awutan dengan segera akan mendapat cap sebagai preman. Preman pasar atau preman jalanan. Padahal tidak selalu demikian, tidak sedikit orang dengan penampilan sangar tetapi berhati lembut dan rajin beribadah.
Sebaliknya orang yang berpakaian rapi, bersih, necis, rambut tercukur rapi, muka kelimis, segera juga mendapat cap sebagai orang berpendidikan, intelek, pekerja kantoran dan berduit banyak. Padahal tidak selalu demikian. Banyak penjahat, maling, koruptor dan kriminal lainnya berpenampilan rapi, licin dan necis.
Meskipun kadang ada benarnya, tetapi pandangan mata seringkali membuat orang bergerak salah arah. Maka waspadalah. Apalagi tidak semua mampu dengan cepat memahami bahwa tampilan yang tertangkap mata seringkali hanyalah bungkus yang bisa berubah tergantung keperluan.
Begitulah kenyataan disekeliling kita. Kita hidup dalam kubangan persepsi, citra, image, stereotype dan prasangka. Orang sering menjadi korban cara berpikirnya sendiri atau menjadi korban dari kerangka yang dibangun pihak lain dengan tujuan tertentu.
Kita bisa amati berita tentang pelaku kriminal di depan hukum. Seperti apapun tampilan sebelumnya dan sejahat apapun perbuatannya, tetapi saat berurusan dengan aparat hukum, mereka tampil penuh dengan simbol-simbol religi dilengkapi ekspresi wajah alim. Anda tentu tahu maksud dan tujuannya.
Untuk maksud dan tujuan itu pula sebagian orang membangun dan memanipulasi tampilan dirinya. Harapannya antara lain agar kekurangannya tertutupi, kebodohannya tak kentara, kesalahannya termaafkan dan kinerjanya terangkat.
Selain juga dengan citranya itu dia berusaha memperoleh simpati. Simpati dari boss, bawahan, dan masyarakat luas. Berbagai cara ditempuh baik di dunia nyata maupun di alam maya, dari membual hingga berbuasa-busa atau bahkan berbohong.
Mengapa berbohong? Karena kebohongan jika diulang-ulang secara masif dari waktu ke waktu bisa dianggap kebenaran (JPNN, mengutip Adi Prayitno Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia dan Pengajar di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta, 7 Januari 2019).