Lihat ke Halaman Asli

Rambu-rambu Pilkada dan Kecelakaan Demokrasi

Diperbarui: 10 Juni 2016   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada itu sama halnya berlalu lintas. Ia butuh rambu-rambu untuk menghindari kecelakaan. Kenapa?  Karena Pilkada adalah sebuah ajang dimana berbagai kelompok kepentingan bertarung. Ada calon perorangan dan calon dari partai politik, ada tim sukses dan kelompok pendukung. Ada ambisi dan janji-janji, ada pujian dan cercaan, dsb.

Dengan lalu lintas kepentingan seperti itu, maka regulasi atau aturan atau rambu-rambu menjadi sangat penting untuk menghindari potensi kecelakaan, kecelakaan demokrasi. Rambu-rambu itu penting untuk semua pihak yang terlibat dalam Pilkada, baik sebagai penyelenggara, peserta, maupun pengawas. KPU adalah penyelenggara, pesertanya adalah para kandidat kepala daerah, dan Panwaslu sebagai wasit.

Rambu-rambu Pilkada dibuat oleh DPR (undang-undang) dan DPRD (Perda, Perdasus, Qanun) serta KPU (Peraturan KPU). Potensi kecelakaan demokrasi sebenarnya berawal dari sini. Ada beberapa rambu yang terpaksa dihapus oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai menghambat hak demokrasi calon perorangan.

Tampak memang ada keengganan bagi partai-partai politik berbagi panggung dengan calon independen. Maka rambu yang mereka buatpun sedemikian rupa agar calon independen sulit lolos. Qanun Pilkada Aceh yang saat ini sedang dibahas perubahannya sempat menyimpan modus baru untuk menghambat calon independen, yaitu kewajiban untuk menempelkan nama-nama pendukung di setiap Keuchik (Kantor Kecamatan).

Untung saja rambu yang satu ini berhasil dicopot oleh eksekutif Aceh yang memprotes keras aturan itu dimasukan dalam revisi Qanun Pilkada. Kalau saja eksekutif gagal menghambat ambisi Banleg DPR Aceh, dapat dipastikan tidak ada calon independen yang bisa lolos di tahap pendaftaran, karena menempelkan nama dan identitas masyarakat pendukung di kantor camat berpotensi terjadinya saling terror antar kelompok pendukung calon tertentu. Apalagi Aceh adalah daerah bekas konflik yang sudah tentu masih ada kelompok masyarakat yang menyimpan senjata api illegal. 

Demokrasi Aceh saat ini boleh dibilang tengah mengalami degredasi karena lembaga wakil rakyatnya masih dihuni oleh kelompok kepentingan yang tidak berorientasi memajukan demokrasi. Masih ada sejumlah orang yang berambisi merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara tidak fair.

Padahal, Aceh telah memberikan kontrobusi besar terhadap perpolitikan nasional. Dari sinilah muncul pertama kali calon independen. Karena, sebelum calon independen disahkan lewat UU No.12 tahun 2008, Aceh sudah lebih dahulu mempraktikannya pada Pilkada tahun 2006. Waktu itu pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar dari jalur independen berhasil mengalahkan tujuh kandidat lainnya dari jalur parpol, dengan perolehan suara sebesar 38,30 persen.

Kita berharap Qanun Pilkada Aceh –tanpa regulasi menempelkan calon pendukung di setiap Keuchik- bisa segara disahkan untuk dijadikan rambu demokrasi, baik bagi pihak penyelenggara (KIP Aceh), para peserta (kandidat kepala daerah) dan pengawas (panwaslih). Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline