Bayangkan seorang koruptor yang mencuri triliunan rupiah, tetapi hanya dihukum 6 tahun penjara. Apakah keadilan sudah ditegakkan?
Fenomena ini bukan sekadar cerita, tetapi realitas yang terus memperburuk persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketimpangan seperti ini tidak hanya menciptakan ketidakpuasan publik, tetapi juga melemahkan kepercayaan terhadap sistem hukum.
Tidak mengherankan jika Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), IPAK pada tahun 2024 tercatat di angka 3,85, turun dibandingkan 3,92 pada tahun 2023. Angka ini mengindikasikan lemahnya kesadaran kolektif masyarakat dalam melawan korupsi. Ketika tren ini terus berlanjut, muncul pertanyaan besar: apakah masyarakat semakin toleran terhadap korupsi, atau praktik ini telah menjadi hal yang dianggap biasa?
Perilaku Anti Korupsi: Dilema dalam Masyarakat
Korupsi tetap menjadi salah satu masalah terbesar yang menghambat kemajuan Indonesia. Berbagai kebijakan dan program telah dilaksanakan untuk mengatasinya, tetapi penurunan IPAK menunjukkan bahwa upaya tersebut belum cukup efektif. Salah satu contoh yang relevan adalah kasus korupsi timah yang baru-baru ini mencuat. Kasus ini melibatkan praktik pengelolaan komoditas timah yang ilegal dan merugikan negara hingga Rp 271 triliun. Kasus ini menyoroti betapa korupsi dalam sektor sumber daya alam (SDA) dapat menggerogoti perekonomian negara, merusak lingkungan, dan memperburuk ketimpangan sosial.
Kasus Korupsi Timah dan Penurunan IPAK
Kasus korupsi timah yang melibatkan PT Timah Tbk, yang mencatatkan kerugian negara hingga Rp 271 triliun, mencerminkan kerentanannya sektor SDA terhadap korupsi. Kejaksaan RI berhasil mengungkapkan modus operandi yang dilakukan oleh perusahaan bersama pihak swasta dalam pengelolaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) ilegal. Harvey Moeis, salah satu tersangka utama dalam kasus ini, berperan dalam mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk meraup keuntungan pribadi. Sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin, ia bekerja sama dengan pihak lain dalam menyewakan peralatan pemrosesan timah kepada smelter swasta, yang seolah-olah legal, padahal praktik ini termasuk dalam tindak pidana korupsi.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, meskipun kerugian negara mencapai angka yang sangat besar, vonis yang diterima oleh Harvey Moeis dan beberapa tersangka lainnya tergolong ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa. Harvey Moeis, yang divonis 6 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar, hanya menerima setengah dari tuntutan jaksa yang meminta vonis 12 tahun penjara. Vonis ringan ini memicu polemik di masyarakat, yang menilai bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan.
Beberapa tersangka lain yang terlibat dalam kasus ini juga menerima vonis yang lebih ringan dari tuntutan jaksa, seperti Suparta yang divonis 8 tahun penjara (tuntutan jaksa 14 tahun), Reza Andriansyah yang divonis 5 tahun penjara (tuntutan jaksa 8 tahun), serta beberapa tersangka lainnya yang mendapatkan vonis lebih ringan daripada yang diharapkan oleh jaksa. Keputusan-keputusan ini memunculkan pertanyaan besar mengenai seberapa serius sistem hukum Indonesia menangani kasus-kasus korupsi besar.
Kasus ini tidak hanya menyoroti betapa korupsi dalam sektor sumber daya alam (SDA) dapat merugikan negara secara signifikan, tetapi juga dampaknya terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengelolaan pertambangan ilegal diperkirakan mencapai Rp 271,1 triliun, yang dihitung berdasarkan luas galian yang mencakup 170.363.064 hektar di kawasan hutan dan non-kawasan hutan Bangka Belitung. Kerusakan lingkungan ini juga berkontribusi pada ketimpangan sosial yang semakin lebar, di mana masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan ilegal justru tidak mendapatkan keuntungan apa pun, kecuali kerugian yang terus berlanjut.
Fenomena vonis yang lebih ringan ini, ditambah dengan kerugian yang sangat besar bagi negara dan masyarakat, berpotensi membuat publik merasa bahwa korupsi adalah masalah yang tak pernah berakhir, yang akhirnya menurunkan rasa kepercayaan terhadap sistem hukum dan penegakannya.
Mengembalikan Spirit Anti Korupsi: Langkah-Langkah Strategis untuk Meningkatkan Integritas
Meski Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) mengalami penurunan, masih ada harapan untuk mengubah tren ini melalui langkah-langkah strategis yang lebih terarah dan efektif. Berdasarkan hasil SPAK 2024, beberapa rekomendasi penting dapat diambil untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pertama, pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Semua pihak, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat, harus bersinergi dalam upaya ini. Keikutsertaan aktif semua stakeholders sangat penting untuk menciptakan ekosistem yang bebas dari korupsi.