"Saya lahir di Ujungpandang. Ibu saya asal Jogja dan Ayah saya dari Tulungagung."
Kalimat itu masih sering menjadi pembuka perkenalan saya. Masa kecil saya terasa kikuk. Tinggal di lingkungan yang mayoritas penduduknya adalah suku asli. Dan datanglah keluarga saya di tengah-tengah mereka. Sebagai 'single fighter'. Yang pada awal tahun 80an, orang-orang masih memiliki kecenderungan tidak mampu berbaur dengan pendatang, seperti keluarga saya.
Ayah saya pekerja keras. Menghidupi anak-anaknya sebagai pegawai pemerintah. Ayah saya dulu bekerja di perusahaan listrik milik pemerintah saat masih berstatus perum -perusahaan umum-. Gajinya kecil, tapi cukup. Cukup buat makan. Cukup buat beli sepetak tanah dan rumah untuk berteduh. Cukup pula untuk melengkapi sarana sekolah kami anak-anaknya.
Namun demikian, masa kecil saya terlewati dengan sulit saat saya mencoba mencari jati diri. Setiap pulang sekolah saya pasti menangis. Karena sepanjang jalan, teman-teman sepermainan banyak yang mengejek saya dengan memperolok asal suku orangtua saya : "jawayya". Yang maksudnya adalah orang Jawa. Dan setiap kali saya menangis, Ayah dan Ibu tidak pernah marah. Mau marah bagaimana. Sudah seperti itu sejak lahir.
Dan diputuskanlah bahwa Ibu dan Ayah tidak mengajarkan kami anak-anaknya bahasa Jawa. Sama sekali. Bahkan di setiap pertemuan para tetua, keluarga dan kerabat, kami juga tidak berusaha menguping, tidak berusaha cari tahu apa yang mereka bicarakan. Alasan Ayah adalah anak-anak harus mampu memperjuangkan dirinya sendiri tanpa perlu membawa-bawa identitas kedaerahan ataupun nama besar orangtua, apapun bentuknya.
And it worked. Pesan itu pula yang saya teruskan untuk putri kecilku. Pencapaian yang diperolehnya adalah perjuangannya sendiri. Tanpa perlu mengkhawatirkan siapa dirinya, darimana asal orangtuanya, suku apa, siapa Ayah dan Ibunya. Dia hanya perlu membawa namanya sendiri.
Saya khawatir di jaman ketika putriku remaja nanti, ia akan berada dalam lingkungan yang bukan lagi mempersoalkan suku dan asal usul orangtuanya. Saya prihatin ketika remaja sudah bingung memutuskan akan ikut idola K-pop mereka yang mana. Atau bingung memilih brand untuk gadget mereka. Bingung ketika harus uplod foto yang mana untuk sosmed mereka. Bingung saat follower instagramnya berkurang......
Dan di sisa waktuku, di usia yang more than 40, saya hanya ingin menghabiskan waktuku menikmati momen-momen berhargaku dengan semesta cintaku.
We are people.
With names....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H