Apa kabar kelapa sawit Indonesia saat ini?
Bisa dibilang bukan Presiden Jokowi saja yang butuh percepatan program-programnya, tapi juga masyarakatnya. Masalah lingkungan memang cerita klasik yang tak pernah pudar. Eropa dan negara-negara lain yang menentang sawit Indonesia, malah membuat para pelaku gaspol menata dan mematuhi sistem keberlanjutan, termasuk pengembangan produk turunan.
Salah satu yang melakukan percepatan adalah Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Pada tanggal 27 Agustus 2019, Menara 165, Jakarta Selatan, mereka mengeluarkan Deklarasi Gapki, bertujuan memicu berbagai pihak terkait untuk melakukan percepatan di berbagai sektor sawit. Pun, Gapki mempunyai target bahwa pada tahun 2020, seluruh anggota Gapki harus sudah mempunyai ISPO.
Sampai saat ini, 556 perusahaan, 6 koperasi swadaya, dan 4 KUD plasma telah mendapatkan sertifikasi ISPO. Dari 556 perusahaan tersebut, sejumlah 502 perusahaan anggota Gapki telah tersertifikasi ISPO.
Lalu, "Bagaimana dengan perusahaan non-Gapki, apakah ada program percepatan sertifikasi ISPO?"
"Nah, justru itu, dengan deklarasi ini kami memicu pemerintah maupun pelaku sawit lain, untuk bertindak cepat, agar semua merasa punya kewajiban. Ini,'kan, kepentingan bersama, " jawab Ketua Umum Gapki, Bapak Joko Supriyono.
"Ya, syaratnya, perusahaan harus mematuhi legalitas dan keberlanjutan. Kita tunjukan kepada dunia supaya mereka menghargai kita, seperti halnya kita menghargai regulasi mereka," sambung Bapak Joko Supriyono.
Namun untuk mendapatkan sertifkasi ISPO perlu melalui berbagai tahapan. Tidak hanya soal konsisten perusahaan maupun koperasi tapi juga kerja sama pemerintah. Konsistensi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, salah satunya adalah PTPN V dibicarakan saat dialog (setelah Deklarasi Gapki). Yang menjadi permasalahan ialah regulasi penetapan kawasan objek yang menghambat perusahaan dan koperasi mendapatkan ISPO.
Misalkan, kawasan A sebelumnya merupakan kawasan perkebunan, kemudian berubah menjadi kawasan cagar alam. Masalah pengkelasan kawasan pun menjadi krusial dan hal utama yang harus diselesaikan dengan 'cepat'. Bila pemerintah tidak punya anggaran, berarti tidak bisa dilakukan pengkelasan. Dalam hal ini, pemerintah harus menunjuk pihak ketiga atau melibatkan perusahaan swasta.
"Percepatan seperti apa kalau objek yang ditinjau belum berkelas, ya sama saja," begitulah suara peserta yang terdengar di acara ini, terkait Presiden Jokowi yang juga meminta percepatan ISPO.
Tidak ketinggalan aspek lingkungan yang dibahas dalam dialog yang menyertakan Direktur Utama BPOP-KS, Direktur Utama PTPN V, Ketua Umum Gapki, dan Direktur Utama PT. Mutu Agung Lestari, serta moderator, Direktur PPHBun, Bapak Dedi Junaidi. Seperti pada tulisan pembukaan, tentang cerita klasik, yakni lingkungan, khususnya permasalahan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).